Antara Imam, Agustusan, dan
Lintas Iman
Beberapa hari sekembalinya ke
tanah air, usai mengikuti temu para Superior SX di Tavernerio (Italia), saya
tinggal di rumah pendidikan Skolastikat Xaverian guna mengantisipasi perayaan
kemerdekaan RI ke-70. Saya mendengar dari konfrater di Cempaka Putih Raya bahwa
sore hari tepat tanggal 17 Agustus, akan diadakan “Ramah Tamah Penutupan
Agustusan” dengan warga RT/RW sekitar, yang mengambil tempat di lapangan futsal
skolastikat. Kesempatan emas ini tentu tidak akan saya sia-siakan, karena meman
jarang-jarang saya ada di Jakarta ketika perayaan Agustusan berlangsung.
Maka, sekitar jam 18.30, usai
misa di skolastikat, saya maju merapat dengan para pastor, frater-frater di
lapangan futsal sembari menunggu tamu-tamu, para warga RT 012/RW 004 setempat,
yang akan menghadiri acara resepsi makan malam bersama atau “silaturahmi kemerdekaan”, sekaligus
menutup rangkaian kegiatan Agustusan yang sudah dimulai sejak pagi harinya.
Bagi saya pribadi, sebagai imam misionaris, setiap kali mengadakan perayaan
Agustusan selalu teringat pula akan sahabat-sahabat setanah air dan para imam/konfrater
di mancanegara yang mungkin merayakan Agustusan di kedubes-kedubes RI setempat.
Saat saya berkarya selama 11
tahun di Bangladesh dulu, sebagai warganegara yang baik dan sebagai misionaris
sejati, saya hampir tidak pernah absen dalam perayaan Agustusan di Kedubes RI,
Dhaka. Selain bisa bergabung dan bercanda ria dengan semua lapisan masyarakat
yang berbeda iman, saya sendiri selalu “merinding” saat mengikuti upacara
bendera. Ada rasa rindu yang mendalam dan terharu saat menyanyikan lagu
“Indonesia Raya” bersama warganegara Indonesia di negeri orang.
Juga tatkala pada pembukaan
acara Agustusan petang ini, saya sebagai imam ikut menyanyikan kembali lagu
yang sama, “Indonesia Raya”, bersama warga RT/RW yang umumnya ibu-ibu berjilbab
beserta bapak-bapaknya yang berkopiah, maka keindonesiaan dan kekatolikan dalam
kalbuku menyatu di tulang sumsum. Kemudian, P.Ruby, P.Ciroi, saya sendiri
(sebagai imam-imam Katolik) terlibat obrolan ringan dan asyik bersama para
sesepuh RT serta Bapak RT, sebagai “tamu-tamu
kehormatan” yang ditempatkan di deretan paling depan dengan sofa yang empuk
dan sejuk. (Para frater jangan ngiri!). Hadir pula saat itu Diakon Romualdus
Juang yang akan mempersiapkan diri berangkat ke Maumere menyongsong tahbisan
imamatnya pada 14 September. Anak-anak dan remaja RT sekitar bercengkerama ria
dengan para frater—calon imam—seperti dengan saudara kandung sendiri. Tanpa
sungkan, hambatan dan tanpa sekat para warga lintas iman berjoged ria,
dangdutan bersama calon imam dalam semangat 45!
Iman yang berbeda, warna kulit,
suku, bahasa dan jenis rambut yang beda (entah keriting atau rebounding),
jilbab dan kopiah yang melambangkan keislaman berbaur manis dan indah dalam “rumah
kekatolikan para calon imam” itu. Syukur alhamdulillah,
setelah 70 tahun kemerdekaan RI, kalau tidak salah, pada tahun ini rumah skolastikat
(resmi dihuni pada 1985) bersama warga RT/RW setempat sudah 30 kali mengadakan acara
atau “gawean Agustusan” yang bernuansa lintas iman. Betapa Tuhan yang Maha Kuasa
lagi Maha Penyayang itu begitu bersuka cita di surga sana, menyaksikan
insan-insan ciptaanNya yang berbeda iman sedang menyatu, mengeluarga,
mengindonesia sembari menyantap gado-gado, sate ayam, sup racikan warga
muslimin dan muslimat di Wisma Xaverian yang dihuni calon-calon imam dan para
imam. Insyaallah, kemesraan/kebersamaan
antara calon imam, para imam, di rumah pendidikan-skolastikat dengan warga
setempat saat Agustusan ini, “janganlah
cepat berlalu.....”
Salam kemerdekaan,
P.Antonius Wahyudianto
*Dimuat di KELUARGA KITA edisi agustus-september 2015
*Dimuat di KELUARGA KITA edisi agustus-september 2015
Posting Komentar