STUDI DAN TUHAN:
Secuil Kisah di Tahun Bahasa
Fr Berto bersama teman-teman di Tahun Bahasa Semua FOTO: Fr Berto SX |
Setelah
menyelesaikan kuliah filsafat-teologi di STF Driyarkara – Jakarta pada tahun
2014 yang lalu, saya diutus untuk belajar teologi di Parma, Italia. Saya
bergabung dengan Komunitas Teologi Internasional Xaverian di Parma bersama para frater dari berbagai negara,
yaitu dari Indonesia, Brasil, Kamerun, Kolombia, Burundi, Peru, Italia, Kongo,
dan Meksiko. Meski kami berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, semangat persaudaraan di
antara kami sebagai Xaverian sungguh
terasa dan begitu kuat. Saya mengalami itu ketika tiba di komunitas (termasuk Komunitas Casa Madre). Hospitalitas yang begitu hangat dalam menyambut para
konfrater baru di komunitas membuat saya tidak merasa diri ‘baru dan asing’. Untuk
pertama kalinya saya betul-betul merasakan suasana kekeluargaan yang berciri-corak
multikultural dan bangsa.
Meski
demikian, bahasa Italia tetap saja menjadi kesulitan untuk masuk secara penuh
dalam dinamika kehidupan komunitas, termasuk juga dalam kegiatan kerasulan. Pada
bulan-bulan awal, saya mengikuti kegiatan-kegiatan di komunitas dan kerasulan dengan banyak
mendengarkan. Hanya memang mendengar tanpa memahami apa yang didengarkan
membuat saya kadang-kadang merasa diri seperti anak kecil yang baru latih
berbicara. Betapa pun itu
sulit, namun itu adalah proses normal yang harus dilalui. Bahasa
memang sudah menjadi problem yang biasa dan normal bagi konfrater yang baru. Namun
demikian, dalam situasi awal ini saya justru menemukan bahwa ada bahasa yang
melampaui kata-kata, bahasa yang tidak hanya dipahami tetapi juga dirasakan. Bahasa
tersebut adalah kasih, kerendahan hati, senyum yang tulus, keterbukaan, dll. Praktisnya,
kami banyak berkomunikasi dengan ‘bahasa-bahasa’ tersebut di bulan-bulan
pertama. Tampaknya memang aneh, tetapi itu yang terjadi.
Sejak
awal Oktober 2014 hingga awal Juni 2015, saya dan beberapa frater baru yang
lain diberi kesempatan untuk belajar bahasa Italia. Saya belajar bahasa
betul-betul dari awal (dari ‘nol’). Pada
minggu-minggu awal di komunitas, Pater Romualdus Juang, SX banyak membantu
saya, terutama mengenal beberapa struktur dasar bahasa Italia. Patut diakui
bahwa struktur gramatika bahasa Italia itu cukup sulit (jika dibandingkan
dengan Bahasa Indonesia). Pekerjaan pertama yang saya lakukan
selama tahun bahasa adalah mengubah logika cara berpikir berdasarkan struktur bahasa
Italia. Tidak mudah memang, tetapi itu jalan yang harus ditempuh yang sangat
membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Kemauan
untuk bisa mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan yang lain mendorong
saya untuk tidak takut salah. Saya berprinsip bahwa kesiapan untuk
menerima kebenaran memang membutuhkan keberanian untuk tidak takut salah.
Hanya dengan mengetahui ‘mana yang salah’ saya dapat mengetahui ‘mana yang
benar’ (bukan berarti sengaja melakukan kesalahan). Kerendahan hati menjadi aspek penting untuk
mewujudkan hal tersebut. Di sini juga saya menemukan kebenaran dari kata-kata
yang pernah diungkapkan oleh Pastor Marini, SX
sebelum kami berangkat dari Indonesia setahun yang lalu, yaitu bahwa
ketotalitasan diri untuk masuk ke teologi internasional lebih melampaui
kesulitan-kesulitan yang dihadapi, termasuk bahasa. Setelah melalui tahun
bahasa, saya betul merasakan dan menemukan kebenaran dari pernyataan bahwa tujuan
belajar adalah untuk hidup dan untuk membawa kita kepada pencerahan.
Fr Berto SX |
Hingga
kini, tahun bahasa merupakan tahun yang sangat spesial dalam perjalanan
panggilan saya. Bagaimana tidak, aspek-aspek manusiawi yang kadang-kadang saya
alami tetapi saya lalui dengan mudah, selama tahun bahasa sungguh menjadi sebuah
tantangan tersendiri, misalnya bingung, stress, marah, pusing, dan sebagainya. Di
satu sisi memang tampak sangat terganggu, tetapi di sisi lain saya justru
bersyukur bahwa saya bisa mengenal dan mengalami itu semua. Saya melihat
perasaan-perasaan tersebut sebagai bagian dari keberadaan saya, yang saya yakin
dapat membawa saya pada kedewasaan diri. Saya berusaha mengatasi semua itu
dengan kerendahan hati. Saya semakin menyadari betapa pentingnya kerendahan
hati. Saya merefleksikan bahwa kerendahan hati menjadi keutamaan yang dapat
membawa orang kepada kedewasaan. Pada akhirnya saya melihat tahun bahasa itu
sungguh indah dan semua tantangan yang saya alami itu sungguh menarik.
Tujuan Studi: Sebuah Refleksi
Pada
titik ini, saya mencoba merefleksikan lebih jauh tujuan dari studi. Tidak
jarang saya mendengar orang tua yang berpesan kepada anaknya, guru kepada
muridnya, atau seorang teman kepada temannya yang lain seperti ini, “Kamu mesti belajar dengan baik biar
dapat nilai yang baik’’. Tidak salah memang, namun jika dilihat secara
mendalam, kalimat petuah tersebut mengandung problem, terutama dalam kaitannya
dengan mentalitas belajar. Belajar seolah-olah (hanya) bertujuan untuk lulus
ujian. Jika ini yang terjadi, maka tidak heran kalau seringkali mengalami
stress atau frustrasi dalam belajar, malas mengerjakan tugas dari sekolah atau
kampus, belajar hanya saat ujian, dsb. Namun, jika tujuan belajar adalah untuk hidup
atau untuk memperkaya diri (baik aspek pengetahuan maupun tingkah laku), maka mendapat
nilai baik adalah konsekuensi logisnya. Selain itu dengan belajar hendaknya dapat
mengasah dan mempertajam hati nurani kita untuk berbela rasa terhadap yang lain,
untuk melihat dan melaksakan kehendak Allah.
Lantas
sebagai Xaverian, bagaimana kita melihat
hubungan studi dengan Tuhan? Jauh sebelum pertanyaan ini muncul, dokumen
mengenai formasi dalam serikat Xaverian Ratio
Formationis Xaverianae (RFX) yang terbaru telah menegaskan, ‘’Study is valuable and indespensable instrument of our personal
formation; it broadens our knowledge of self and others, it promotes dialogue
with contemporary humanity, the various cultures, religions and languages, and
it teaches us to go grow in the knowledge of God’’ (RFX - 2014, no. 177). Jika
direnungkan secara mendalam, kutipan RFX tersebut memiliki makna yang sangat
mendalam dan mengandung spirit misioner yang tinggi. Pertama-tama ditegaskan
bahwa studi merupakan vital instrument
bagi perkembangan pribadi kita. Studi adalah bagian dari cara berada kita
sebagai misionaris atau bagian dari misi kita. Maka studi tidak pernah bersifat
temporal, tetapi bersifat kontinual. Aspek penting berikutnya adalah
bahwa dengan studi kita bisa semakin mengenal diri dan orang lain. Termasuk
juga mengubah diri, mengubah cara pandang terhadap diri dan orang lain. Dalam
hal ini dapat dilihat bahwa studi memiliki spirit ‘personal’ dan komunal,
membawa kita kepada kedalaman diri dan kepada comunio (komunitas) - untuk bisa hidup bersama orang lain. Kemudian,
mengingat bahwa sebagai misionaris kita selalu berhadapan dengan berbagai
perbedaan, maka kita diarahkan untuk menjadi pelaku dialog dan menjadi pribadi yang peka
melihat dan menanggapi realitas. Maka dari itu tampak jelas bahwa studi
juga bagi kita memiliki spirit dialogis. Studi mesti membuat kita
menjadi pribadi yang berkarakter inklusif. Ini tentu saja menjadi salah satu
bentuk kesaksian kita sebagai murid Kristus. Dan pada akhirnya, studi
mesti membawa kita kepada pengenalan akan Allah. Studi mesti membuat
kita semakin beriman kepada Allah.
Kita
beriman kepada Allah dengan seluruh diri, baik dengan pikiran, perkataan,
maupun dengan perbuatan. Dengan kata lain, keseluruhan diri kita mesti menjadi
sebuah ungkapan iman akan Allah. Ungkapan iman akan Allah yang terungkap dalam
pikiran, perkataan, dan perbuatan inilah yang dapat disebut sebagai kesaksian.
Untuk itu, studi mesti memampukan kita untuk menjadi pribadi yang selalu
bersaksi tentang kasih Allah. Pada titik inilah kita dapat memahami bahwa studi
tidak cukup hanya untuk memperkaya pengetahuan kita, terutama pengetahuan akan
Allah. Allah yang kita imani bukanlah ide atau gagasan yang bisa dipahami
dengan membaca banyak buku teologi. Allah yang kita imani adalah Allah sebagai
pribadi, Allah yang mewahyukan diri dalam pribadi Yesus Kristus. Untuk
mengenal Allah sebagai pribadi itu (Yesus Kristus) kita mesti selalu membangun
relasi dengan-Nya. Studi adalah salah satu aspek dalam membangun relasi
tersebut. Selain aspek studi, sebagaimana dalam komunitas pendidikan Xaverian
yang pernah saya alami, aspek-aspek lainnya adalah doa, komunitas, dan
kerasulan. Karena tujuan yang dicapai adalah untuk mengenal dan berelasi dengan
Allah, maka keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Hanya dengan itu kita bisa hidup secara seimbang dan bisa
membangun relasi yang baik dengan yang lain dan dengan Tuhan. Santo Conforti telah menegaskan bahwa kita
mesti memiliki iman yang hidup untuk melihat, mencari, dan mencintai Allah
dalam segala hal. In
Omnibus Christus!
*Artikel ini pernah dikirim ke majalah WARTA XAVERIAN Jakarta
Fr Berto SX dari Parma
Posting Komentar