Memaknai
NATAL & TAHUN BARU
dengan mereka yang di hulu
P. Anton bersama umat di Hulu-Mentawai, FOTO: P. Anton SX |
Setiap kali menjelang
perayaan Natal, saya selalu terkenang dengan kesahajaan, kesederhanaan dan
serba kekurangan yang selalu ada, baik di pedalaman Bandorbon, Babarpara
(Bangladesh) maupun di pelosok kampung yang terdapat di sekitar hulu sungai
Tinambu, Bolotok, Matotonan, Sirisura/Saibi Hulu (Mentawai).
Di Bangladesh, masa
Natal bertepatan dengan musim dingin yang kadangkala mencapai 7-10 derajat
Celsius. Natal di pedalaman dan hulu sungai di Bangladesh identik dengan
meningkatnya angka kematian di antara orang yang lanjut usia dan anak-anak.
Penduduk yang miskin dan tua, yang tidak cukup selimut tebal dan pakaian hangat untuk dikenakan,
akan mudah merasa kedinginan sepanjang hari selama berhari-hari di dalam rumah
yang tanpa alat pemanas (“heater”). Kelahiran Sang Almasih di bulan Desember di
tanah Betlehem juga berlangsung dalam musim dingin.
Jerami-jerami yang biasa
diletakkan di sekitar kandang dan dalam palungan Bayi Yesus pada 2000 tahun
lalu, juga dipakai oleh kebanyakan orang Bangladesh di bawah tikar di atas tanah,
yang menyerupai kasur empuk sebagai penghangat tubuh di saat tidur.
Jerami-ierami kering itu pula yang dibakar setiap malam sebagai api unggun
untuk mengusir hawa dingin pada musim dingin. Realitas kurangnya selimut dan
baju hangat di rumah orang kecil dan papa di Bangladesh, juga dialami oleh bayi
Yesus di Betlehem. Namun inilah keindahan Natal, di mana Allah yang menjadi
manusia Yesus itu masuk ke dalam kesahajaan, kemiskinan dan serba kekurangan secara
insani-duniawi.
Sementara itu, nun jauh
di hulu-hulu sungai wilayah Paroki Muara Siberut, meski tidak ada musim dingin,
namun sering berkabut di pagi hari yang menambah rasa dingin di sekujur tubuh.
Merayakan Natal dalam gereja di malam hari, bila tidak ada perangkat genset
(generator) atau lampu petromaks, umat
yang bersahaja cukup puas bila hanya diterangi cahaya dari beberapa
lilin kecil atau dari sumbu lampu teplok yang tidak cukup menerangi seluruh
ruangan gereja. Kadang cahaya lilin itu akan sirna bersamaan dengan usainya
perayaan misa natal di malam hari. Sehingga, bila kita tidak membawa senter
atau penerangan lainnya dari HP/korek api-matches, hanya kegelapanlah yang
menjadi sahabat kita di malam hari, sama seperti suasana sekitar kandang natal
di Betlehem yang sunyi dan gelap.
Namun di kesunyian dan
kegelapan Betlehem di malam hari, di atas kandang tempat kelahiran Yesus itu
justru diterangi jutaan bintang-gemintang yang bersinar terang. Demikian pula,
di malam natal sekitar pedalaman dan hulu sungai wilayah Siberut (Mentawai)
yang sepi dan gelap, kita justru bisa melihat ribuan kunang-kunang yang
berterbangan memancarkan cahaya dari tubuhnya.
Natal bagi mereka yang
ada di pedalamn dan hulu sungai Bangladesh dan Metawai, mampu dihayati umat
kristiani sebagai gambaran dan lukisan kesahajaan Sang Mesias yang lahir ke
dunia membawa cahaya dan kedamaian di hati. Meskipun kadang Natal di Bangladesh
yang bertepatan dengan musim dingin itu
membawa kematian bagi bayi dan kaum tua lanjut usia, namun kematian itu
menuju lorong kebangkitan jiwa dan badan di terang pintu surgawi. Dan sirnanya
cahaya lilin-lilin kecil di akhir misa di atas meja altar tempat roti dan
anggur dipersembahkan itu, turut berjasa dalam mengorbankan dirinya tanpa
sia-sia; karena telah memberikan cahaya terang sepanjang perjamuan misa malam
natal.
Selamat Natal dan Tahun
Baru dalam kesederhanaan dan keugaharian raga dan jiwa.
P. Antonius Wahyudianto SX
Posting Komentar