Halloween party ideas 2015

Memaknai NATAL  & TAHUN BARU
dengan mereka yang di hulu

P. Anton bersama umat di Hulu-Mentawai, FOTO: P. Anton SX


Setiap kali menjelang perayaan Natal, saya selalu terkenang dengan kesahajaan, kesederhanaan dan serba kekurangan yang selalu ada, baik di pedalaman Bandorbon, Babarpara (Bangladesh) maupun di pelosok kampung yang terdapat di sekitar hulu sungai Tinambu, Bolotok, Matotonan, Sirisura/Saibi Hulu (Mentawai).

Di Bangladesh, masa Natal bertepatan dengan musim dingin yang kadangkala mencapai 7-10 derajat Celsius. Natal di pedalaman dan hulu sungai di Bangladesh identik dengan meningkatnya angka kematian di antara orang yang lanjut usia dan anak-anak. Penduduk yang miskin dan tua, yang tidak cukup selimut  tebal dan pakaian hangat untuk dikenakan, akan mudah merasa kedinginan sepanjang hari selama berhari-hari di dalam rumah yang tanpa alat pemanas (“heater”). Kelahiran Sang Almasih di bulan Desember di tanah Betlehem juga berlangsung dalam musim dingin.

Jerami-jerami yang biasa diletakkan di sekitar kandang dan dalam palungan Bayi Yesus pada 2000 tahun lalu, juga dipakai oleh kebanyakan orang Bangladesh di bawah tikar di atas tanah, yang menyerupai kasur empuk sebagai penghangat tubuh di saat tidur. Jerami-ierami kering itu pula yang dibakar setiap malam sebagai api unggun untuk mengusir hawa dingin pada musim dingin. Realitas kurangnya selimut dan baju hangat di rumah orang kecil dan papa di Bangladesh, juga dialami oleh bayi Yesus di Betlehem. Namun inilah keindahan Natal, di mana Allah yang menjadi manusia Yesus itu masuk ke dalam kesahajaan, kemiskinan dan serba kekurangan secara insani-duniawi.

Sementara itu, nun jauh di hulu-hulu sungai wilayah Paroki Muara Siberut, meski tidak ada musim dingin, namun sering berkabut di pagi hari yang menambah rasa dingin di sekujur tubuh. Merayakan Natal dalam gereja di malam hari, bila tidak ada perangkat genset (generator) atau lampu petromaks, umat  yang bersahaja cukup puas bila hanya diterangi cahaya dari beberapa lilin kecil atau dari sumbu lampu teplok yang tidak cukup menerangi seluruh ruangan gereja. Kadang cahaya lilin itu akan sirna bersamaan dengan usainya perayaan misa natal di malam hari. Sehingga, bila kita tidak membawa senter atau penerangan lainnya dari HP/korek api-matches, hanya kegelapanlah yang menjadi sahabat kita di malam hari, sama seperti suasana sekitar kandang natal di Betlehem yang sunyi dan gelap.

Namun di kesunyian dan kegelapan Betlehem di malam hari, di atas kandang tempat kelahiran Yesus itu justru diterangi jutaan bintang-gemintang yang bersinar terang. Demikian pula, di malam natal sekitar pedalaman dan hulu sungai wilayah Siberut (Mentawai) yang sepi dan gelap, kita justru bisa melihat ribuan kunang-kunang yang berterbangan memancarkan cahaya dari tubuhnya.

Natal bagi mereka yang ada di pedalamn dan hulu sungai Bangladesh dan Metawai, mampu dihayati umat kristiani sebagai gambaran dan lukisan kesahajaan Sang Mesias yang lahir ke dunia membawa cahaya dan kedamaian di hati. Meskipun kadang Natal di Bangladesh yang bertepatan dengan musim dingin itu  membawa kematian bagi bayi dan kaum tua lanjut usia, namun kematian itu menuju lorong kebangkitan jiwa dan badan di terang pintu surgawi. Dan sirnanya cahaya lilin-lilin kecil di akhir misa di atas meja altar tempat roti dan anggur dipersembahkan itu, turut berjasa dalam mengorbankan dirinya tanpa sia-sia; karena telah memberikan cahaya terang sepanjang perjamuan misa malam natal.

Selamat Natal dan Tahun Baru dalam kesederhanaan dan keugaharian raga dan jiwa.

P. Antonius Wahyudianto SX



Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.