Halloween party ideas 2015

Saat Awam dan Misionaris Bekerja Sama
 
Mbak Emma berjaket biru sedang berbagi pengalaman dengan awam lainnya
Siang itu rasanya dingin sekali. Agak beda dengan hari-hari lainnya. Padahal, pada saat itu juga matahari bersinar terang. Rupanya ada kontras antara matahari dan angin. Memang, dingin itu muncul karena angin yang bertiup kencang.

Dingin itu persis dirasakan di stasiun kereta api di kota Campiglia. Saya dan Frater Berto SX baru saja tiba di stasiun ini setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Parma. Panjangnya perjalanan ini rupanya membuat suhu juga berubah. Di Parma, saat kami datang, suhu masih agak panas. Bahkan, di pagi yang cerah pada Minggu 9 April itu Parma masih hangat. Parma akan menjadi panas saat siang sampai sore hari.

Karena suhu Parma seperti ini, saya pun hanya mengenakan kaus dalam, tambah kemeja, dan di luarnya hanya 1 jaket. Dengan ini saja, saya sudah merasa hangat. Bahkan, dalam kereta pertama juga saya harus melepaskan jaket sehingga sisa kemeja dan kaus saja.

Suhu ini rupanya berbeda saat kami berpindah sekitar 250 km ke arah Selatan Italia. Kami datang dari Parma (bagian Utara) dan berpindah ke Piombino, salah satu kota kecil di Provinsi (regione) Toscana (Italia Tengah). Jaraknya yang panjang ini kami tempuh dengan kereta api. Karena jalurnya bukan jalur utama, kami pun harus mengganti kereta sampai 4 kali. Cara ini juga untuk menghemat biaya. Kami bisa mengambil kereta cepat atau super cepat tanpa harus mengganti sampai 4 kali. Sayangnya, biayanya bisa 4 kali lipat dari harga kereta biasa.

Kota Piombino terletak di pinggir laut. Di sebelah depannya, ada Pulau Elba, salah satu pulau milik negara Italia. Di dekat Pulau Elba, ada Pulau Korsica milik negara Prancis. Jadi, dari pantai Piombino—saat cuaca cerah—kami bisa lihat Prancis. Meski dekat dengan laut, kota Piombino selalu dingin. Rasa panas muncul hanya sekitar 2-3 jam. Dari pukul 12 siang sampai 15 sore. Setelah itu, suhu dingin mulai muncul, termasuk pada malam hari.

Di stasiun kota Piombino—tujuan akhir kami—suhu dingin itu makin menjadi-jadi. Saya mulai merasa dingin saat Pastor Carlo Uccelli SX menjemput kami. Untunglah dengan cepat, kami masuk kembali dalam mobil dan segera menuju Pastoran, tempat Pastor Carlo tinggal. Sambil menikmati rasa dingin disertai sinar matahari sore itu, ingatan saya masih membayang-bayang suasana perjalanan kami. Ganti kereta, tunjukkan tiket, naik turun ruang tunggu dan stasiun, menunggu kereta, hingga tertidur di kereta khususnya yang jaraknya panjang.

Ingatan ini segera hilang, saat kami tiba di Pastoran. Mbak Emma, misionaris awam yang membantu Pastor Carlo menyapa kami lalu mempersilakan kami masuk kamar makan. Di sini, kami ngobrol sebentar sambil menikmati minuman ringan. Rasa lapar tidak muncul meski kami makan pada pukul 12.30, tepatnya di stasiun ketiga. Rupanya energi yang dihasilkan beberapa potong roti pagi itu cukup kuat untuk mengganjal rasa lapar.

Untuk menghangatkan suhu badan, saya mengambil beberapa gelas minuman ringan itu. Ini cukup untuk menghangatkan badan. Badan saya memang pada akhirnya mulai hangat lagi. Lebih hangat lagi saat saya menambah 1 jaket lagi. Jadi, dengan kaus dalam, kemeja, plus 2 jaket, rasa hangat itu sudah muncul lagi.

Dengan rasa hangat ini, saya pun percaya diri untuk ikut keliling melihat kota Piombino bersama Pastor Carlo. Tanpa menunggu lama, saya segera membereskan tas di dalam kamar, mengambil tas kecil berisi dokumen, dan juga kamera saku. Ini sudah cukup untuk berjalan-jalan. Perjalanan sore ini memang tidak lama. Kota kecil berpunduk 34.068 jiwa ini hanya butuh kurang dari 1 jam untuk mengelilinginya. Kami memang berkeliling hanya dalam 45 menit dengan mobil.  

Pastor Carlo membimbing para awam menjadi misionaris
Pastor Carlo SX bekerja di kota ini lebih kurang hampir 30 tahun. Sebelum datang ke sini, dia bekerja di Republik Demokratik Kongo. Pengalamannya bekerja di Kongo membuatnya makin lincah menghadapi kondisi umat di kota Italia Tengah ini. Berbeda dengan Kongo, di kota Piombino ini tidak banyak umat yang datang ke gereja pada hari Minggu. Ini memang menjadi ciri khas hampir setiap kota di Italia. Juga dengan alasan banyaknya gedung gereja dan misa pada hari Minggu. Tampak hanya sedikit umat yang hadir. Tetapi kalau digabungkan semuanya—termasuk yang mengikuti misa di kapel kecil—jumlahnya amat banyak. Jadi, sebenarnya masih banyak umat yang pergi ke gereja meski tampak sedikit di setiap gereja.

Kehadiran Pastor Carlo di Keuskupan Massa Marittima Piombino ini membawa gaya pastoral baru. Dia membentuk kelompok awam misionaris. Untuk tujuan inilah, dia tidak menolak tawaran uskup untuk mengambil 2 paroki. Sampai saat ini, kedua paroki itu menjadi contoh gaya pastoral bermodel misionaris. Pastor Carlo tinggal di Paroki Vergine Santissima del Rosario sedangkan di Paroki San Bernardino di Siena tinggal satu keluarga awam misionaris. Di 2 paroki ini, diadakan misa setiap hari Minggu. Itulah sebabnya Pastor Carlo mempersembahkan misa 1 di Paroki Rosario lalu misa ke-2 di Paroki Bernardino. Untuk administrasi, keluarga awam misionaris-lah yang membantu Pastor Carlo.

Keluarga awam misionaris ini hanya satu dari beberapa keluarga yang dibentuk oleh Pastor Carlo. Mereka mendapat pembinaan selama 3 tahun, lalu harus berangkat ke tanah misi minimal 5 tahun. Pilihan ini boleh dibilang radikal. Sebab, mereka rela kehilangan pekerjaan di Italia dan harus bekerja di tanah misi. Lalu, kembali ke Italia dan harus mencari pekerjaan baru lagi.

Dari pengakuan beberapa awam yang kami jumpai, mereka pada umumnya senang bisa bekerja di tanah misi. Mereka melihat ini sebagai sebuah pengalaman iman. Mereka sebelumnya sudah merencanakan dengan matang tentang hidup mereka termasuk konsekuensinya. Beberapa dari mereka bahkan membawa serta anak-anak yang masih kecil ke Mozambik-Afrika. Anak-anak mereka sekarang sudah besar dan berkeluarga. Keluarga lainnya pernah bermisi di Cina, Brasil, Tunisia, dan sebagainya.

Dengan modal itulah, Pastor Carlo tidak segan dan takut mempercayakan administrasi paroki kepada satu dari keluarga awam misionaris yang dibentuknya. Para awam misionaris ini bekerja seperti pemancing iman. Merekalah yang bergerak dari rumah ke rumah, mengajak keluarga Katolik untuk terlibat dalam kegiatan gereja. Hasilnya cukup memuaskan. Banyak umat yang tadinya seperti ‘tidak mengenal gereja’ sekarang datang dan ikut ke gereja. Keluarga awam misionaris bersama Pastor Carlo membentuk banyak kegiatan di paroki seperti kelompok bacaan Injil, kelompok masak, kelompok sekolah untuk anak-anak dan remaja, dan sebagainya.

Jasa para awam ini amat besar untuk kelangsungan paroki selanjutnya. Dengan jasa ini juga, mereka membantu saya dan Fr Berto selama 4 hari berada di 2 komunitas paroki ini. Kami datang untuk membantu Pastor Carlo memberkati rumah-rumah selama masa Pra-paskah. Tradisi pemberkatan rumah ini amat kuat di Italia. Namun, banyak paroki melupakannya. Untunglah masih ada yang masih terus melanjutkan praktik pemberkatan ini.

Setiap hari—dari Senin sampai Rabu—kami mengunjungi keluarga Katolik di 2 paroki ini. Sore hari adalah waktu yang tepat meski ada juga yang persis bekerja di waktu itu. Dibantu oleh 1 orang dari paroki, kami berangkat ke setiap rumah. Sehari bisa lebih dari 20 rumah yang kami kunjungi. Tidak semua rumah kami singgah sebab ada juga yang pemiliknya masih di tempat kerja.

Kami berdialog sejenak sebelum memberkati rumah. Dalam dialog kecil ini, kami mempresentasikan identitas kami serta tujuan kedatangan kami. Di sini agak mudah karena ada awam yang membantu apalagi dengan menyebut nama Pastor Carlo. Kami yang orang asing ini pun dalam sekejab menjadi bagian dari umat paroki. Dengan ini, acara pemberkatan rumah berjalan lancar.

Secara teologis, pemberkatan rumah ini adalah simbol kehadiran Tuhan yang datang mendekati kita pada masa Prapaskah ini. Demikian penjelasan Pastor Carlo saat saya tanya motif acara ini. Melalui frase inilah, kami mewartakan Injil kepada setiap keluarga ini.

Seperti para rasul, kami merasa senang bisa diterima dengan baik oleh para umat. Tetapi tentu ada kurangnya. Terutama saat pemilik rumah mengatakan, maaf, kami tidak butuh berkat, terima kasih. Ini memang menjadi hal biasa dalam budaya Italia. Penolakan halus dan sopan seperti ini mengajarkan pada saya untuk menerima kenyataan. Setelah ngobrol dengan awam yang mendampingi, saya pun tidak merasa putus asa saat berhadapan dengan umat seperti ini. Kita memang tidak boleh memaksa. Kita hanya menawarkan saja.

Penolakan seperti diimbangi dengan penerimaan yang muncul dari hati. Beberapa dari para umat merasa terima kasih pada kami karena telah mengunjungi mereka. Mereka merasa seperti sebuah anugerah bisa dikunjungi oleh gembala gereja. Dalam dialog kami, mereka mengungkapkan rasa ini. Kadang-kadang dialog ini menjadi sebuah curahan hati bahkan menjadi saat untuk menangis.

Kami berjumpa dengan beberapa keluarga yang hidup sendiri. Hanya ada suami dan istri. Anak-anak mereka tinggal di rumah lain karena sudah berkeluarga. Ibu dalam keadaan sakit. Sang suami pun melayaninya dengan sabar. Kadang-kadang pelayanan ini berat sekali terutama untuk mereka yang hanya bisa hidup di atas tempat tidur saja. Seorang bapak sambil meneteskan air mata berujar, saya mau mati tanpa penderitaan seperti yang dialami istri saya.

Kalimat ini mengungkapkan betapa hidup kadang-kadang menjadi sulit sekali. Beberapa keluarga yang kami jumpai sedang mengalami situasi ini. Ada yang bahkan terpaksa hidup sendiri karena istri/suami meninggal. Dalam suasana sepi dan sendiri seperti ini, kunjungan kami menjadi amat berarti. Maka, dalam waktu yang singkat itu, kami berusaha untuk mendengar saja cerita mereka.

Kunjungan sambil memberkati rumah ini rupanya mampu membuat hidup beberapa umat berubah. Perubahan ini menjadi bagian dari pengalaman iman mereka. Ini yang diungkapkan oleh beberapa awam yang mendampingi saya. Satunya berujar, Gordi, saya dulunya ateis, sekarang menjadi percaya pada Tuhan. Meski saya tidak suka pada sistem organisasi gereja, saya tetap percaya pada Tuhan yang hadir dalam wajah gereja.

Ini kiranya sebuah ironi antara iman dan pengalaman gereja. Semoga tradisi berkat rumah ini tetap hidup dan mampu membawa manfaat bagi pengalaman iman umat.

Salam hangat dari Piombino.


Gordi SX 

[Artikel ini sudah dimuat di Buletin Xaverian Jakarta edisi April-Mei 2017]

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.