Saat Awam dan
Misionaris Bekerja Sama
Siang itu rasanya dingin sekali. Agak beda dengan hari-hari
lainnya. Padahal, pada saat itu juga matahari bersinar terang. Rupanya ada kontras antara matahari dan angin. Memang, dingin itu muncul
karena angin yang bertiup kencang.
Dingin itu persis dirasakan di stasiun kereta api di
kota Campiglia. Saya dan Frater Berto SX baru saja tiba di stasiun ini setelah
melakukan perjalanan panjang dari kota Parma. Panjangnya perjalanan ini rupanya
membuat suhu juga berubah. Di Parma, saat kami datang, suhu masih agak panas.
Bahkan, di pagi yang cerah pada Minggu 9 April itu Parma masih hangat. Parma
akan menjadi panas saat siang sampai sore hari.
Karena suhu Parma seperti ini, saya pun hanya
mengenakan kaus dalam, tambah kemeja, dan di luarnya hanya 1 jaket. Dengan ini
saja, saya sudah merasa hangat. Bahkan, dalam kereta pertama juga saya harus
melepaskan jaket sehingga sisa kemeja dan kaus saja.
Suhu ini rupanya berbeda saat kami berpindah sekitar
250 km ke arah Selatan Italia. Kami datang dari Parma (bagian Utara) dan
berpindah ke Piombino, salah satu kota kecil di Provinsi (regione) Toscana (Italia Tengah). Jaraknya yang panjang ini kami
tempuh dengan kereta api. Karena jalurnya bukan jalur utama, kami pun harus
mengganti kereta sampai 4 kali. Cara ini juga untuk menghemat biaya. Kami bisa
mengambil kereta cepat atau super cepat tanpa harus mengganti sampai 4 kali.
Sayangnya, biayanya bisa 4 kali lipat dari harga kereta biasa.
Kota Piombino terletak di pinggir laut. Di sebelah
depannya, ada Pulau Elba, salah satu pulau milik negara Italia. Di dekat Pulau
Elba, ada Pulau Korsica milik negara Prancis. Jadi, dari pantai Piombino—saat
cuaca cerah—kami bisa lihat Prancis. Meski dekat dengan laut, kota Piombino
selalu dingin. Rasa panas muncul hanya sekitar 2-3 jam. Dari pukul 12 siang
sampai 15 sore. Setelah itu, suhu dingin mulai muncul, termasuk pada malam
hari.
Di stasiun kota Piombino—tujuan akhir kami—suhu dingin
itu makin menjadi-jadi. Saya mulai merasa dingin saat Pastor Carlo Uccelli SX
menjemput kami. Untunglah dengan cepat, kami masuk kembali dalam mobil dan
segera menuju Pastoran, tempat Pastor Carlo tinggal. Sambil menikmati rasa
dingin disertai sinar matahari sore itu, ingatan saya masih membayang-bayang
suasana perjalanan kami. Ganti kereta, tunjukkan tiket, naik turun ruang tunggu
dan stasiun, menunggu kereta, hingga tertidur di kereta khususnya yang jaraknya
panjang.
Ingatan ini segera hilang, saat kami tiba di
Pastoran. Mbak Emma, misionaris awam yang membantu Pastor Carlo menyapa kami
lalu mempersilakan kami masuk kamar makan. Di sini, kami ngobrol sebentar sambil menikmati minuman ringan. Rasa lapar tidak
muncul meski kami makan pada pukul 12.30, tepatnya di stasiun ketiga. Rupanya
energi yang dihasilkan beberapa potong roti pagi itu cukup kuat untuk
mengganjal rasa lapar.
Untuk
menghangatkan suhu badan, saya mengambil beberapa gelas minuman ringan itu. Ini
cukup untuk menghangatkan badan. Badan saya memang pada akhirnya mulai hangat
lagi. Lebih hangat lagi saat saya menambah 1 jaket lagi. Jadi, dengan kaus
dalam, kemeja, plus 2 jaket, rasa hangat itu sudah muncul lagi.
Dengan rasa hangat ini, saya pun percaya diri untuk
ikut keliling melihat kota Piombino bersama Pastor Carlo. Tanpa menunggu lama,
saya segera membereskan tas di dalam kamar, mengambil tas kecil berisi dokumen,
dan juga kamera saku. Ini sudah cukup untuk berjalan-jalan. Perjalanan sore ini
memang tidak lama. Kota kecil berpunduk 34.068 jiwa ini hanya butuh kurang dari
1 jam untuk mengelilinginya. Kami memang berkeliling hanya dalam 45 menit
dengan mobil.
Pastor Carlo membimbing para awam menjadi misionaris |
Pastor Carlo SX bekerja di kota ini lebih kurang
hampir 30 tahun. Sebelum datang ke sini, dia bekerja di Republik Demokratik
Kongo. Pengalamannya bekerja di Kongo membuatnya makin lincah menghadapi
kondisi umat di kota Italia Tengah ini. Berbeda dengan Kongo, di kota Piombino
ini tidak banyak umat yang datang ke gereja pada hari Minggu. Ini memang
menjadi ciri khas hampir setiap kota di Italia. Juga dengan alasan banyaknya
gedung gereja dan misa pada hari Minggu. Tampak hanya sedikit umat yang hadir.
Tetapi kalau digabungkan semuanya—termasuk yang mengikuti misa di kapel
kecil—jumlahnya amat banyak. Jadi, sebenarnya masih banyak umat yang pergi ke
gereja meski tampak sedikit di setiap gereja.
Kehadiran Pastor Carlo di Keuskupan Massa Marittima
Piombino ini membawa gaya pastoral baru. Dia membentuk kelompok awam misionaris. Untuk tujuan
inilah, dia tidak menolak tawaran uskup untuk mengambil 2 paroki. Sampai
saat ini, kedua paroki itu menjadi contoh gaya pastoral bermodel misionaris. Pastor
Carlo tinggal di Paroki Vergine
Santissima del Rosario sedangkan di Paroki San Bernardino di Siena tinggal satu keluarga awam misionaris. Di 2
paroki ini, diadakan misa setiap hari Minggu. Itulah sebabnya Pastor Carlo
mempersembahkan misa 1 di Paroki Rosario lalu misa ke-2 di Paroki Bernardino. Untuk administrasi, keluarga awam misionaris-lah yang
membantu Pastor Carlo.
Keluarga awam
misionaris ini hanya satu dari beberapa keluarga yang dibentuk oleh Pastor
Carlo. Mereka mendapat pembinaan selama 3 tahun, lalu harus berangkat ke tanah
misi minimal 5 tahun. Pilihan ini boleh dibilang radikal. Sebab, mereka rela
kehilangan pekerjaan di Italia dan harus bekerja di tanah misi. Lalu,
kembali ke Italia dan harus mencari pekerjaan baru lagi.
Dari pengakuan beberapa awam yang kami jumpai, mereka
pada umumnya senang bisa bekerja di tanah misi. Mereka melihat ini sebagai
sebuah pengalaman iman. Mereka sebelumnya sudah merencanakan dengan matang
tentang hidup mereka termasuk konsekuensinya. Beberapa dari mereka bahkan
membawa serta anak-anak yang masih kecil ke Mozambik-Afrika. Anak-anak mereka
sekarang sudah besar dan berkeluarga. Keluarga lainnya pernah bermisi di Cina,
Brasil, Tunisia, dan sebagainya.
Dengan modal itulah, Pastor Carlo tidak segan dan
takut mempercayakan administrasi paroki kepada satu dari keluarga awam
misionaris yang dibentuknya. Para awam misionaris ini bekerja seperti pemancing
iman. Merekalah yang bergerak dari rumah ke rumah, mengajak keluarga Katolik
untuk terlibat dalam kegiatan gereja. Hasilnya cukup memuaskan. Banyak umat
yang tadinya seperti ‘tidak mengenal gereja’ sekarang datang dan ikut ke
gereja. Keluarga awam misionaris bersama Pastor Carlo membentuk banyak kegiatan
di paroki seperti kelompok bacaan Injil, kelompok masak, kelompok sekolah untuk
anak-anak dan remaja, dan sebagainya.
Jasa para awam ini amat besar untuk kelangsungan
paroki selanjutnya. Dengan jasa ini juga, mereka membantu saya dan Fr Berto
selama 4 hari berada di 2 komunitas paroki ini. Kami datang untuk membantu
Pastor Carlo memberkati rumah-rumah selama masa Pra-paskah. Tradisi pemberkatan
rumah ini amat kuat di Italia. Namun, banyak paroki melupakannya. Untunglah masih ada yang masih terus melanjutkan praktik
pemberkatan ini.
Setiap hari—dari Senin sampai Rabu—kami mengunjungi
keluarga Katolik di 2 paroki ini. Sore hari adalah waktu yang tepat meski ada
juga yang persis bekerja di waktu itu. Dibantu oleh 1 orang dari paroki, kami
berangkat ke setiap rumah. Sehari bisa lebih dari 20 rumah yang kami kunjungi.
Tidak semua rumah kami singgah sebab ada juga yang pemiliknya masih di tempat
kerja.
Kami berdialog sejenak sebelum memberkati rumah.
Dalam dialog kecil ini, kami mempresentasikan identitas kami serta tujuan
kedatangan kami. Di sini agak mudah karena ada awam yang membantu apalagi
dengan menyebut nama Pastor Carlo. Kami yang orang asing ini pun dalam sekejab
menjadi bagian dari umat paroki. Dengan ini, acara pemberkatan rumah berjalan
lancar.
Secara teologis, pemberkatan rumah ini adalah simbol
kehadiran Tuhan yang datang mendekati kita pada masa Prapaskah ini. Demikian
penjelasan Pastor Carlo saat saya tanya motif acara ini. Melalui frase inilah,
kami mewartakan Injil kepada setiap keluarga ini.
Seperti para rasul, kami merasa senang bisa diterima
dengan baik oleh para umat. Tetapi tentu ada kurangnya. Terutama saat pemilik
rumah mengatakan, maaf, kami tidak butuh
berkat, terima kasih. Ini memang menjadi hal biasa dalam budaya Italia.
Penolakan halus dan sopan seperti ini mengajarkan pada saya untuk menerima
kenyataan. Setelah ngobrol dengan
awam yang mendampingi, saya pun tidak merasa putus asa saat berhadapan dengan
umat seperti ini. Kita memang tidak boleh memaksa. Kita hanya menawarkan saja.
Penolakan seperti diimbangi dengan penerimaan yang
muncul dari hati. Beberapa dari para umat merasa terima kasih pada kami karena
telah mengunjungi mereka. Mereka merasa seperti sebuah anugerah bisa dikunjungi
oleh gembala gereja. Dalam dialog kami, mereka mengungkapkan rasa ini.
Kadang-kadang dialog ini menjadi sebuah curahan hati bahkan menjadi saat untuk
menangis.
Kami berjumpa dengan beberapa keluarga yang hidup
sendiri. Hanya ada suami dan istri. Anak-anak mereka tinggal di rumah lain
karena sudah berkeluarga. Ibu dalam keadaan sakit. Sang suami pun melayaninya
dengan sabar. Kadang-kadang pelayanan ini berat sekali terutama untuk mereka
yang hanya bisa hidup di atas tempat tidur saja. Seorang bapak sambil
meneteskan air mata berujar, saya mau
mati tanpa penderitaan seperti yang dialami istri saya.
Kalimat ini mengungkapkan betapa hidup kadang-kadang
menjadi sulit sekali. Beberapa keluarga yang kami jumpai sedang mengalami
situasi ini. Ada yang bahkan terpaksa hidup sendiri karena istri/suami
meninggal. Dalam suasana sepi dan sendiri seperti ini, kunjungan kami menjadi
amat berarti. Maka, dalam waktu yang singkat itu, kami berusaha untuk mendengar
saja cerita mereka.
Kunjungan sambil memberkati rumah ini rupanya mampu
membuat hidup beberapa umat berubah. Perubahan ini menjadi bagian dari
pengalaman iman mereka. Ini yang diungkapkan oleh beberapa awam yang
mendampingi saya. Satunya berujar, Gordi,
saya dulunya ateis, sekarang menjadi percaya pada Tuhan. Meski saya tidak suka
pada sistem organisasi gereja, saya tetap percaya pada Tuhan yang hadir dalam
wajah gereja.
Ini kiranya sebuah ironi antara iman dan pengalaman
gereja. Semoga tradisi berkat rumah ini tetap hidup dan mampu membawa manfaat
bagi pengalaman iman umat.
Salam hangat dari Piombino.
Gordi SX
[Artikel ini sudah dimuat di Buletin Xaverian Jakarta edisi April-Mei 2017]
Posting Komentar