Halloween party ideas 2015



Berita itu mengejutkan. Meski hanya dalam satu kalimat, efeknya lebih dari sehari, seminggu, bahkan mungkin menjadi sebulan. Atau, boleh jadi sepanjang masa.

“Gordi, Padre Marini sudah meninggal,” demikian kata Frater Berto pagi itu.

Saya kaget dan hampir tidak bisa berkata-kata. Ingatanku seketika menjadi kabur. Bagaimana mungkin dia yang hidup kemarin sore hari ini menjadi mati? Demikian satu dari sekian kalimat yang muncul begitu saja di pikiran. Pastor Marini memang masih bisa bicara kemarin sore. Saya bertemu bahkan berbicara dengannya di kamarnya tepat setelah misa sore.

Pagi ini, Selasa 24 Mei 2016, saya mengajak Frater Berto untuk menjenguknya di Rumah Induk. Kami juga sudah sepakat untuk mengunjunginya pada jam 9 pagi. Kesepakatan itu memang terlaksana tetapi bukan untuk bertemu Pastor Marini yang seperti kemarin sore melainkan Pastor Marini yang sekarang.

Kami menuju Lantai 4 di mana Pastor Marini tinggal di bulan-bulan ini. Di depan kamar Pastor Marini, kami bertemu seorang pastor lain yang sedang mengusap air mata. Sementara di dalam kamar, kami melihat Dokter Gildo (seorang Bruder Xaverian) sedang membereskan kamar. Tidak ada lagi Pastor Marini yang sedang berbaring seperti kemarin sore. Saya menatap kosong. Tempat tidurnya kosong. Hanya ada layar TV di depan tempat tidur yang tidak bersuara dan tidak bergambar.

Tak lama berselang, keluar Dokter Gildo. Kami tanya padanya tentang Pastor Marini. Dari dia kami tahu bahwa Pastor Marini meninggal tadi pagi sekitar pukul 08.34 waktu Parma. Dia juga memberitahukan bahwa pastor sekarang sudah dipindahkan ke Lantai 2 di dekat tangga. Di situ ada satu kamar khusus untuk mereka yang sudah meninggal. Disemayamkan selama 1-2 hari. Dari lantai 4 kami turun ke lantai 2.

Benar kata Dokter Gildo. Pastor Marini sudah berada di kamar ini. Kami melihatnya sudah terbaring di tempat tidur. Pakaiannya bukan lagi pakaian orang sakit tetapi pakaian kebesarannya sebagai imam misionaris. Dia mengenakan pakaian misa di masa biasa, berwarna hijau. Di tangannya tergenggam rosario misioner. Matanya tertutup.

Sambil melihat dua pastor lain yang sedang membereskan tempat tidur Pastor Marini, saya menatapnya tiada henti. Dalam benak saya, Pastor Marini masih hidup. Masih sulit menerima kenyataan bahwa dia sudah berbeda dari kemarin. Tangan yang saya pegang kemarin sore masih tangannya yang ada di depan saya sekarang, yang menggenggam rosario misioner itu.

Agar tidak mengganggu mereka yang sedang bekerja, kami keluar dari ruangan. Kami melihat dari pintu saja. Hadir juga Dokter Gildo yang membantu membereskan pekerjaan di sini. Dua pastor lainnya membereskan perlengkapan lain seperti meletakkan kursi dan meja, lilin, bunga hidup, dan sebagainya. Ruangan ini akan menjadi ruang doa untuk sementara. Berdoa dengan Pastor Marini yang sedang berbaring. Di kursi-kursi inilah nantinya akan duduk para pengunjung yang datang dan ingin berdoa atau sekadar memberi salam kepada Pastor Marini.

Pikiran saya belum bisa masuk dalam situasi duka ini. Saya memang tahu bahwa Pastor Marini sudah meninggal tetapi bayangan akan Pastor Marini yang hidup masih kuat. Saya dan Frater Berto memutuskan untuk datang lagi sebab di sini masih ada pekerjaan. Sambil berjalan menuruni tangga, Frater Berto mengusap air matanya. Dia dan saya juga kami semua sedang bersedih.

Kesedihan ini rupanya menjadi bagian dari keseharian saya. Saya dan Berto pamit di lantai 1. Dia kembali ke rumah teologi dan saya menuju ruang baca di perpustakaan rumah induk. Di sana saya membaca tetapi saya tidak membaca dengan sepenuh hati. Bayangan Pastor Marini masih muncul. Memang duka ini sekaligus menguras pikiran saya. Apalagi di ruang baca inilah biasanya Pastor Marini mengisi waktu senggangnya dalam beberapa bulan terakhir.

Saat dia masih kuat membaca, dia selalu datang di ruang ini untuk sekadar membaca buku atau melihat majalah terbaru yang ada di ruang ini. Kami biasanya bertemu di ruangan baca ini. Selalu saja dia yang pertama tiba. Dari ujung ruangan saya bisa melihatnya sedang membaca.

Halaman demi halaman dari diktat kuliah itu saya buka. Tetapi, di setiap halaman saya selalu menemukan bayangan Pastor Marini. Pastor Marini memang sedang bersama kami di sini di hari-hari terakhir hidupnya. Kepergiannya seolah-olah hanya bayangan saja. Bayangan akan Pastor Marini yang hidup dan berbicara dengan kami masih kuat. (bersambung).

Fr Gordi SX dari Parma

Berikutnya:

KEPERGIANNYA MENGANGETKAN BANYAK ORANG

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.