Berita itu mengejutkan. Meski hanya
dalam satu kalimat, efeknya lebih dari sehari, seminggu, bahkan mungkin menjadi
sebulan. Atau, boleh jadi sepanjang masa.
“Gordi, Padre Marini sudah meninggal,”
demikian kata Frater Berto pagi itu.
Saya kaget dan hampir tidak bisa
berkata-kata. Ingatanku seketika menjadi kabur. Bagaimana mungkin dia yang hidup kemarin sore hari ini menjadi mati?
Demikian satu dari sekian kalimat yang muncul begitu saja di pikiran. Pastor
Marini memang masih bisa bicara kemarin sore. Saya bertemu bahkan berbicara
dengannya di kamarnya tepat setelah misa sore.
Pagi ini, Selasa 24 Mei 2016, saya
mengajak Frater Berto untuk menjenguknya di Rumah Induk. Kami juga sudah
sepakat untuk mengunjunginya pada jam 9 pagi. Kesepakatan itu memang terlaksana
tetapi bukan untuk bertemu Pastor Marini yang seperti kemarin sore melainkan
Pastor Marini yang sekarang.
Kami menuju Lantai 4 di mana Pastor
Marini tinggal di bulan-bulan ini. Di depan kamar Pastor Marini, kami bertemu
seorang pastor lain yang sedang mengusap air mata. Sementara di dalam kamar,
kami melihat Dokter Gildo (seorang Bruder Xaverian) sedang membereskan kamar.
Tidak ada lagi Pastor Marini yang sedang berbaring seperti kemarin sore. Saya
menatap kosong. Tempat tidurnya kosong. Hanya ada layar TV di depan tempat
tidur yang tidak bersuara dan tidak bergambar.
Tak lama berselang, keluar Dokter Gildo.
Kami tanya padanya tentang Pastor Marini. Dari dia kami tahu bahwa Pastor
Marini meninggal tadi pagi sekitar pukul 08.34 waktu Parma. Dia juga
memberitahukan bahwa pastor sekarang sudah dipindahkan ke Lantai 2 di dekat
tangga. Di situ ada satu kamar khusus untuk mereka yang sudah meninggal. Disemayamkan
selama 1-2 hari. Dari lantai 4 kami turun ke lantai 2.
Benar kata Dokter Gildo. Pastor Marini
sudah berada di kamar ini. Kami melihatnya sudah terbaring di tempat tidur.
Pakaiannya bukan lagi pakaian orang sakit tetapi pakaian kebesarannya sebagai
imam misionaris. Dia mengenakan pakaian misa di masa biasa, berwarna hijau. Di
tangannya tergenggam rosario misioner. Matanya tertutup.
Sambil melihat dua pastor lain yang
sedang membereskan tempat tidur Pastor Marini, saya menatapnya tiada henti.
Dalam benak saya, Pastor Marini masih hidup. Masih sulit menerima kenyataan
bahwa dia sudah berbeda dari kemarin. Tangan yang saya pegang kemarin sore
masih tangannya yang ada di depan saya sekarang, yang menggenggam rosario
misioner itu.
Agar tidak mengganggu mereka yang sedang
bekerja, kami keluar dari ruangan. Kami melihat dari pintu saja. Hadir juga
Dokter Gildo yang membantu membereskan pekerjaan di sini. Dua pastor lainnya
membereskan perlengkapan lain seperti meletakkan kursi dan meja, lilin, bunga
hidup, dan sebagainya. Ruangan ini akan menjadi ruang doa untuk sementara.
Berdoa dengan Pastor Marini yang sedang berbaring. Di kursi-kursi inilah
nantinya akan duduk para pengunjung yang datang dan ingin berdoa atau sekadar
memberi salam kepada Pastor Marini.
Pikiran saya belum bisa masuk dalam
situasi duka ini. Saya memang tahu bahwa Pastor Marini sudah meninggal tetapi
bayangan akan Pastor Marini yang hidup masih kuat. Saya dan Frater Berto
memutuskan untuk datang lagi sebab di sini masih ada pekerjaan. Sambil berjalan
menuruni tangga, Frater Berto mengusap air matanya. Dia dan saya juga kami
semua sedang bersedih.
Kesedihan ini rupanya menjadi bagian
dari keseharian saya. Saya dan Berto pamit di lantai 1. Dia kembali ke rumah
teologi dan saya menuju ruang baca di perpustakaan rumah induk. Di sana saya
membaca tetapi saya tidak membaca dengan sepenuh hati. Bayangan Pastor Marini
masih muncul. Memang duka ini sekaligus menguras pikiran saya. Apalagi di ruang
baca inilah biasanya Pastor Marini mengisi waktu senggangnya dalam beberapa
bulan terakhir.
Saat dia masih kuat membaca, dia selalu
datang di ruang ini untuk sekadar membaca buku atau melihat majalah terbaru
yang ada di ruang ini. Kami biasanya bertemu di ruangan baca ini. Selalu saja
dia yang pertama tiba. Dari ujung ruangan saya bisa melihatnya sedang membaca.
Halaman demi halaman dari diktat kuliah
itu saya buka. Tetapi, di setiap halaman saya selalu menemukan bayangan Pastor
Marini. Pastor Marini memang sedang bersama kami di sini di hari-hari terakhir
hidupnya. Kepergiannya seolah-olah hanya bayangan saja. Bayangan akan
Pastor Marini yang hidup dan berbicara dengan kami masih kuat. (bersambung).
Fr
Gordi SX dari Parma
Berikutnya:
KEPERGIANNYA
MENGANGETKAN BANYAK ORANG
Posting Komentar