Pandanglah Salib Itu Barang Sejenak Saja
Saya ingin berbagi pengalaman dengan para pembaca sekalian.
Pengalaman yang mungkin dangkal dan sepele tetapi bisa menjadi dalam dan
mendasar. Bermula dari saling pandang menjadi pandangan yang mendalam. Rupanya
‘memandang’ yang sepele itu bisa menjadi dasar iman kita.
Selama bulan Juli yang lalu (1-31), saya mengikuti retret di kota Bologna.
Retret ini dipandu oleh tim yang terdiri dari 3 pastor Jesuit, 2 suster, dan 2 awam. Jumlah peserta 35 orang. Ada 1 pastor
projo, 2 suster, para frater dari beberapa kongregasi dan dari beberapa
keuskupan, dan beberapa awam. Setiap peserta mempunyai pembimbing rohani dan
membuat pertemuan atau qolloquium pribadi setiap hari sekitar 30-45 menit
bahkan kadang 1 jam. Selain itu, ada 3 kali pertemuan bersama (Pukul 12.00,
15.00 dan 20.45).
Satu dari sekian hal yang menarik perhatian saya adalah cara berdoa.
Setiap hari kami mempunyai 4 waktu doa secara pribadi. Merefleksikan salah satu
teks dari Kitab Suci atau dari bahan spiritual lainnya. Durasi doa tidak
ditentukan. Ada yang memilih 30 menit, 45 atau bahkan 1 jam. Ada yang bermula
dari 30 menit, lalu 45, lalu 1 jam. Ada pula yang tetap saja 45 menit atau 1
jam.
Untuk mengisi waktu ini, ada langkah-langkah yang dianjurkan.
Pelaksanaannya tentu bergantung kepada peserta. Paling tidak, langkah yang
diberikan oleh pembimbing menjadi panduan awal yang berguna. Langkah-langkah
ini dikembangkan dari hari ke hari sesuai tema retret setiap minggu, tetapi
langkah dasarnya tetap sama.
Satu dari sekian langkah itu adalah mengimajinasikan Yesus yang sedang
memandang kita dengan tatapan cinta. Yesus mencintai kita dan Ia memandang kita
ciptaan-Nya, dengan cinta yang tak terbatas. Ini ide di baliknya. Langkah ini
membantu peserta untuk menyadari bahwa dia dicintai. Yesus berada di sampingnya
dan hadir dalam doanya dengan tatapan cinta.
Langkah ini mungkin sulit pada awalnya. Bagaimana mungkin mengimajinasikan
Yesus yang sedang memandang kita dengan tatapan cinta? Tidak apa-apa kalau
sulit. Malah, lebih baik merasakan sulitnya dulu, baru menikmati betapa
indahnya tatapan cinta itu.
Saya terbantu dengan pengalaman Santo Conforti, pendiri Serikat Xaverian.
Conforti memandang Yesus di salib. Conforti tahu, ia sendiri benar-benar sedang
memandang Yesus. Ia sadar akan pengalamannya ini. Ia juga tahu dan sadar bahwa
Yesus sedang memandangnya. Mereka saling pandang. Dari saling pandang lahirlah
relasi.
Mengikuti Conforti, saya juga memandang salib untuk mengimajinasikan tatapan
cinta Yesus itu. Di kapel rumah retret ada salib yang disoroti cahaya putih.
Cahaya itu bulat dan mengenai bagian kepala dan badan Yesus. Bagian itu menjadi
lain dari yang lainnya. Itu sebabnya kami merasa mudah dan terbantu memusatkan
perhatian ke situ.
Suatu ketika, tempat berdoa saya di kapel telah diambil-alih oleh peserta
lain. Kami memang bebas memilih tempat doa. Entah di kapel, kamar, halaman,
taman, kapel kecil dan sebagainya. Saya memilih sisi kanan dari kapel itu.
Kebetulan ada karpet empuk. Nyaman untuk bersilah di situ sambil memandang
Yesus yang menatap saya dengan tatapan cinta. Ketika tempat itu diambil alih,
saya kembali ke kamar saya.
Saya berdoa di kamar. Saya menurunkan salib dan meletakkannya di atas
meja. Tepat di depan mata saya. Saya menyorotkan lampu meja ke arahnya. Lalu,
saya memandang salib itu. Saya membayangkan Yesus yang memandang saya dengan
tatapan cinta.
Dari hari ke hari tatapan itulah yang saya pandang. Lama-lama, saya pun
merasakan relasi yang mendalam dengan Yesus. Yesus yang menatap itu bukan saja
dalam bayangan-imajinasi tetapi betul-betul hadir bersama saya dalam doa itu.
Maka, di akhir doa, saya selalu mengatakan unek-unek saya pada Yesus. Saya
bicara lepas-bebas tanpa takut, malu, dan cemas. Saya merasa Yesus yang menatap
dengan cinta itu menjadi sahabat dan teman akrab saya. Bermula dari saling
tatap jadi saling dekat dan lebih jauh lagi jadi teman curhat.
Saya kira ini hal sepele. Bisa diinterogasi ah bagaimana mungkin itu terjadi. Saya yang mengalaminya yakin
sekali bahwa Yesus itu hadir dan menatap saya dengan tatapan cintanya. Bukan
saya lagi yang memandang tetapi Dia yang memandang saya. Iman saya akan Yesus
makin kuat dengan tatapan ini. Relasi saya dengan-Nya juga makin erat.
Saya mengajak para pembaca sekalian untuk meluangkan waktu memandang
sejenak salib Yesus atau juga patung Bunda Maria yang ada di sekitar Anda. Ketika
Anda masuk gereja, cari di mana letak salib, tataplah lama-lama di situ setelah
Anda menghormatinya. Atau ketika Anda mampir ke gua Maria, tataplah sang Bunda
Maria lama-lama. Tatap dalam hening, sambil merasakan kehadirannya. Kelak,
kalau Anda meyakininya, dan terus-terus memandangnya, sebenarnya Anda tidak
sedang menatap Yesus tetapi Yesus-lah yang sedang menatap Anda. Anda tidak
sedang memandang tetapi Anda sedang dipandangi oleh Yesus. Kiranya bisa
terbantu juga jika Anda membiarkan diri Anda ditatap oleh tatapan cinta itu. Demikian
dengan tatapan keibuan Bunda Maria. Selamat mencoba.
Terima kasih dan salam dari Bologna dan Parma, Italy.
Fr. Gordi, SX
*Dimuat di buletin XAVERIAN Jakarta
Posting Komentar