Halloween party ideas 2015

Komunitas Teologi Internasional Filipina

Para Pastor dan Frater di Komunitas Teologi Internasional Manila
FOTO: Xaverian Filipina doc.

Salam Jumpa dari negeri seberang, Filipina.

Betapa bahagianya saya bisa berbagi sedikit tentang pengalaman saya di Filipina. Semoga pengalaman ini bisa membawa pembaca lebih dekat dengan komunitas Teologi Internasional Filipina.

Sudah genap satu tahun dan dua bulan saya berada di komunitas Teologi Internasional-Filipina. Pengalaman hidup di komunitas internasional ini membawa saya pada sebuah “kesimpulan” bahwa mimpi Pendiri kita, Guido Maria Conforti, “Menjadi Dunia Satu Keluarga” kini menjadi nyata. Anggota komunitas Teologi Internasional Filipina sekarang berjumlah 22 orang, berasal dari 7 negara yakni Brazil, Mexico, Burundi, Konggo, Siera Leone, Kamerun, dan Indonesia.

Kita mungkin pernah mendengar ataupun membaca: taman bunga itu terlihat indah karena ditumbuhi beraneka macam bunga atau pelangi itu indah karena beraneka warna. Setidaknya begitulah gambaran hidup komunitas yang sedang saya alami. Hidup dalam satu komunitas yang beranekaragam latar belakang bangsa, budaya, bahasa dan keluarga tentu saja sangatlah indah. Saling memperkaya, memberi-menerima, menghargai dan terbuka pada segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing pribadi dan negara.   

Tentu saja hidup berkomunitas seperti ini lebih tertantang. Indah tidak berarti sempurna. Persoalan, ketidakcocokkan, dan perselisihan pasti ada. Akan tetapi, pengampunan, cinta dan persaudaraan pasti selalu menang atas segalanya. Saya ingat P. Matteo Rebechi SX, dalam sebuah kesempatan pembicaraan pribadi, pernah mengatakan: “Bersyukurlah kalau kamu berselisih dengan teman atau punya masalah dalam hidup berkomunitas; karena dengan itu kamu belajar bagaimana menghadapi dan mengatasinya”. Ini menjadi modal bagi saya. Modal bukan untuk mensyukuri masalah, tetapi modal untuk selalu bisa mengakui kesalahan, menerima dan mengampuni sesama.

Saya sangat bahagia sekaligus bangga menjadi anak Guido Maria Conforti, menjadi anggota keluarga Xaverian. Dari komunitas saya telah dan akan selalu belajar banyak hal. Pengalaman hidup komunitas ini membantu saya untuk semakin memantapkan langkah menjalani misi. Komunitas menjadi sumber bagi misi dan pewartaan. 

Mengenal Xaverian tidaklah lengkap jika hanya membicarakan komunitas keluarga sebagai karakteristiknya. Sekarang saya akan berbagi pengalaman hidup Kerasulan. Bicara mengenai teologi dan “teologan” di Filipina hal yang sangat menonjol adalah hidup studi. Kenyataannya, kami menghabiskan separuh hari di kampus—Loyola School of Theology, Ateneo deManila University—mulai jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 sore (Senin-Jumat). Di sela kesibukkan studi, di akhir pekan kami menjalankan kegiatan kerasulan. Saya menjalani kegiatan kerasulan pada hari Sabtu (pkl. 15.30-17.30) dan Minggu (pkl.15.00-20.30). Kerasulan yang dijalankan oleh para frater lebih dipusatkan kepada orang muda (OMK). Terbagi di enam area, semuanya dalam wilayah paroki yang ditangani Xaverian, St. Fransiskus Xaverius-Maligaya. Kegiatan kerasulan yang dijalankan berupa katekese dan sharing Kitab Suci.

Tentu saja kita tidak mau menjadi “orang bisu”, juga tidak mau mengalaminya. Tidak demikian di Filipina. Pengalaman kerasulan saya dalam lima bulan pertama (semenjak tiba dari Indonesia), membawa saya pada pengalaman menjadi “orang bisu”. Bulan-bulan awal belajar bahasa Inggris, saya baru tahu beberapa kalimat bahasa Inggris, sedangkan bahasa Tagalog saya “nol”. Dibekali beberapa kata bahasa Inggris yang dimiliki sayapun memberanikan diri merasul dengan frater  lain. Saya masih ingat jelas di tempat kerasulan, saya hanya duduk, diam, senyum, dan pulang. Bahasa tubuh pun bahkan tidak berlaku. Beruntunglah sekarang saya tahu sedikit bahasa Inggris sehingga bisa berkomunikasi dengan orang muda di tempat kerasulan saya.

Menjadi misionaris tidaklah mudah. Tantangan akan bahasa dan budaya baru sudah menjadi bagian dari pilihan sebagai seorang misionaris. Pada awalnya saya melihat hal ini sebagai konsekuensi dari pilihan sebagai misionaris Xaverian, lalu kemudian visi dan cara pandang saya pun berubah. Bahasa dan budaya baru bukanlah konsekuensi, melainkan rahmat untuk bisa mewartakan Dia dengan bahasa dan budaya mereka. Mengenal bahasa, budaya, bangsa atau tempat di mana saya diutus, bagi saya, adalah kunci untuk menghayati sungguh apa arti menjadi seorang misionaris.

Saya yakin perjalanan panggilan ini tidak sedang saya tempuh sendiri. Tuhan, para konfrater, keluarga dan banyak orang lain senantiasa berjalan bersama, mendukung dan mendoakan saya. Terima kasih untuk segalanya.
  
Ryan Masri, SX
Frater Teologan di Manila

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.