Komunitas Teologi Internasional Filipina
Para Pastor dan Frater di Komunitas Teologi Internasional Manila FOTO: Xaverian Filipina doc. |
Salam Jumpa dari negeri seberang, Filipina.
Betapa bahagianya saya bisa berbagi sedikit tentang
pengalaman saya di Filipina. Semoga pengalaman ini bisa membawa pembaca lebih
dekat dengan komunitas Teologi Internasional Filipina.
Sudah genap satu tahun dan dua bulan saya berada di
komunitas Teologi Internasional-Filipina. Pengalaman hidup di komunitas internasional
ini membawa saya pada sebuah “kesimpulan” bahwa mimpi Pendiri kita, Guido Maria
Conforti, “Menjadi Dunia Satu Keluarga” kini menjadi nyata. Anggota komunitas
Teologi Internasional Filipina sekarang berjumlah 22 orang, berasal dari 7
negara yakni Brazil, Mexico, Burundi, Konggo, Siera Leone, Kamerun, dan
Indonesia.
Kita mungkin pernah mendengar ataupun membaca: taman
bunga itu terlihat indah karena ditumbuhi beraneka macam bunga atau pelangi itu
indah karena beraneka warna. Setidaknya begitulah gambaran hidup komunitas yang
sedang saya alami. Hidup dalam satu komunitas yang beranekaragam latar belakang
bangsa, budaya, bahasa dan keluarga tentu saja sangatlah indah. Saling
memperkaya, memberi-menerima, menghargai dan terbuka pada segala kelebihan dan
keterbatasan masing-masing pribadi dan negara.
Tentu saja hidup berkomunitas seperti ini lebih
tertantang. Indah tidak berarti sempurna. Persoalan, ketidakcocokkan, dan
perselisihan pasti ada. Akan tetapi, pengampunan, cinta dan persaudaraan pasti
selalu menang atas segalanya. Saya ingat P. Matteo Rebechi SX, dalam sebuah
kesempatan pembicaraan pribadi, pernah mengatakan: “Bersyukurlah kalau kamu
berselisih dengan teman atau punya masalah dalam hidup berkomunitas; karena
dengan itu kamu belajar bagaimana menghadapi dan mengatasinya”. Ini menjadi
modal bagi saya. Modal bukan untuk mensyukuri masalah, tetapi modal untuk
selalu bisa mengakui kesalahan, menerima dan mengampuni sesama.
Saya sangat bahagia sekaligus bangga menjadi anak Guido
Maria Conforti, menjadi anggota keluarga Xaverian. Dari komunitas saya telah dan akan selalu belajar banyak hal. Pengalaman
hidup komunitas ini membantu saya untuk semakin memantapkan langkah menjalani
misi. Komunitas menjadi sumber bagi misi dan pewartaan.
Mengenal Xaverian
tidaklah lengkap jika hanya membicarakan komunitas keluarga sebagai karakteristiknya.
Sekarang saya akan berbagi pengalaman hidup Kerasulan. Bicara mengenai teologi dan “teologan” di Filipina hal
yang sangat menonjol adalah hidup studi. Kenyataannya, kami menghabiskan
separuh hari di kampus—Loyola School of
Theology, Ateneo deManila University—mulai
jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 sore (Senin-Jumat). Di
sela kesibukkan studi, di akhir pekan kami menjalankan kegiatan kerasulan. Saya
menjalani kegiatan kerasulan pada hari Sabtu (pkl. 15.30-17.30) dan Minggu
(pkl.15.00-20.30). Kerasulan yang dijalankan oleh para frater lebih dipusatkan
kepada orang muda (OMK). Terbagi di enam area, semuanya dalam wilayah paroki
yang ditangani Xaverian, St. Fransiskus Xaverius-Maligaya. Kegiatan kerasulan
yang dijalankan berupa katekese dan sharing Kitab Suci.
Tentu saja kita tidak
mau menjadi “orang bisu”, juga tidak mau mengalaminya. Tidak demikian di
Filipina. Pengalaman kerasulan saya dalam lima bulan pertama (semenjak tiba
dari Indonesia), membawa saya pada pengalaman menjadi “orang bisu”. Bulan-bulan
awal belajar bahasa Inggris, saya baru tahu beberapa kalimat bahasa Inggris,
sedangkan bahasa Tagalog saya “nol”. Dibekali beberapa kata bahasa Inggris yang
dimiliki sayapun memberanikan diri merasul dengan frater lain. Saya masih ingat jelas di tempat
kerasulan, saya hanya duduk, diam, senyum, dan pulang. Bahasa tubuh pun bahkan
tidak berlaku. Beruntunglah sekarang saya tahu sedikit bahasa Inggris sehingga
bisa berkomunikasi dengan orang muda di tempat kerasulan saya.
Menjadi misionaris
tidaklah mudah. Tantangan akan bahasa dan budaya baru sudah menjadi bagian dari
pilihan sebagai seorang misionaris. Pada awalnya saya melihat hal ini sebagai
konsekuensi dari pilihan sebagai misionaris Xaverian, lalu kemudian visi dan
cara pandang saya pun berubah. Bahasa dan budaya baru bukanlah konsekuensi,
melainkan rahmat untuk bisa mewartakan Dia dengan bahasa dan budaya mereka. Mengenal
bahasa, budaya, bangsa atau tempat di mana saya diutus, bagi saya, adalah kunci
untuk menghayati sungguh apa arti menjadi seorang misionaris.
Saya yakin perjalanan
panggilan ini tidak sedang saya tempuh sendiri. Tuhan, para konfrater, keluarga
dan banyak orang lain senantiasa berjalan bersama, mendukung dan mendoakan
saya. Terima kasih untuk segalanya.
Ryan Masri, SX
Frater Teologan di Manila
Posting Komentar