Spiritualitas Kristiani
Semua agama bertujuan menjalin hubungan antara manusia
dan Allah. Apakah dalam bentuk ritus, atau ketaatan moral, atau penerimaan Sabda, atau
kegiatan rohani…: semuanya bermaksud mendekatkan manusia kepada Allah.
Ada juga orang yang bukan
hanya bermaksud menjalin hubungan dengan Allah, tetapi menjadikan tujuan ini,
tujuan tunggal atau utama semua usaha dan kegiatannya dan sampai mengalami
dekatnya dan mesranya Tuhan. Kalau yang pertama bisa disebut orang beriman, yang kedua ini pantas
disebut “mistikus”.
Semua agama mempunyai mistikus, baik agama Abrahamik
maupun agama-agama Timur.
Rupanya, dalam setiap agama, jalan menuju Allah, baik
dalam bentuk spiritualitas umum maupun dalam bentuk khusus mistikus, selalu
melalui penyangkalan dunia, pengasingan… Rupanya, manusia itu bisa bertemu
dengan Allah dengan mengatasi, melupakan, menyangkal… yang duniawi.
Dan ini memang masuk akal, karena Allah itu berbeda
sekali dari semua dan setiap ciptaan. Kalau kita memegang sesuatu (pikiran,
perasaan, imaginasi, ritus…) itu pasti berbeda dari Allah. Mungkin adalah
simbolNya, tandaNya, pengantaraanNya, tetapi bukan Dia sebenarnya.
Tetapi, apakah itulah
satu-satunya jalan menuju Tuhan? Apakah kita dapat bertemu dengan Tuhan hanya sejauh
kita menolak dan menjauhi yang duniawi? Dan selama kita menyibukkan diri dengan
kegiatan duniawi (yang merupakan mungkin 95% dari kehidupan kita) berarti kita
tidak bisa bersatu dengan Tuhan? Dunia itu, hanya halangan? Atau bisa juga
merupakan kesempatan dalam mendekati Tuhan?
Saya rasa, kita harus belajar menjadikan yang duniawi
suatu jalan menuju Tuhan.
1. Karena, menurut iman kita, ciptaan itu sebenarnya
tidak jauh dari Tuhan. Dunia bisa berada karena tetap dalam perlindungan dan
topangan Tuhan. Setiap makluk berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan Tuhan
berada dalamnya.
“Dia tidak jauh dari kita
masing-masing. Sebab di
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada…” (Kis 17:27-28). “Namun
bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal
segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus
Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita
hidup” (1Kor 8:6). Ciptaan itu terus berasal dari padaNya, seakan-akan sekarang
sedang keluar dari tanganNya. Andaikata dipisahkan dari Allah, hilanglah
ciptaan itu!
Jadi, ciptaan itu, kalau dimengerti dan dilihat dengan
mata iman, bukan sesuatu yang jauh dari Tuhan, tetapi sesuatu yang berada dalam
Allah, menghadirkan Allah dan bisa menjadi pengantara dengan Tuhan.
2. Apalagi, dalam pandangan kristiani, Allah sendiri
masuk dalam ciptaanNya, bahkan “menjadi daging” (Yoh 1: 14), menyatu dengan
ciptaan, sehingga, dalam diri Yesus tidak bisa dipisahkan yang
duniawi/manusiawi dari keilahianNya.
Sejak itu (Paulus mengatakan: sejak sediakala),
seluruh dunia bersifat “kristik”.
“Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia… dan
segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1:16-17); artinya: dari Dia
mengambil keberadaan/eksistensi dan identitasnya.
3. Ditambah lagi pengertian
keselamatan yang menyeluruh. Keselamatan itu tidak mencakup hanya jiwa, tetapi
seluruh kepribadian (dengan pikiran, perasaan, nilai, relasi, bahkan badan
sendiri yang akan ikut dalam kemuliaan nanti); tidak menyangkut hanya hubungan
dengan Tuhan, tetapi juga relasi yang dalam dengan sesama manusia; tidak
terwujud hanya sesudah kematian, tetapi sejak sekarang; tidak bersifat hanya
individualistik, tetapi merangkul sejarah dan hubungan manusia yang
seluas-luasnya…
Yesus berbicara tentang suatu
“kehidupan dalam bentuk berlimpah” (Yoh 10:10) karena intinya adalah kesatuan
antara Allah dan manusia dan dengan demikian memenuhi dan melimpahi semua
hubungan yang lain… Jadi, kepenuhan kehidupan itu menyentuh seluruh hidup kita,
bukan nampak dalam kegiatan rohani saja...
4. Jadi, kalau kita pikirkan:
- hubungan yang tidak
terpisahkan antara Allah dan ciptaanNya,
- kesatuan yang misterius
antara Allah dan manusia dalam Kristus,
- tujuan keselamatan itu yang
bersifat menyeluruh,
dengan jelas nampak bahwa
dunia itu bukan lawan Tuhan, hambatan dalam kesatuan mesra dengan Dia, tetapi
jalan menuju kepadaNya. Seperti dikatakan dalam satu doa liturgi, kita harus
“belajar mencintai Allah dalam segala hal dan di atas segala hal”.
Artinya, spiritualitas dan pengalaman mistikus itu,
bisa tercapai melalui penyangkalan, tetapi bisa dicapai juga melalui dan dalam
memakai dan bahkan dalam menikmati dunia. St. Paulus sendiri mengatakan: “jika
engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang
lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31).
Kita harus berlatih dalam hal ini, supaya seluruh
kehidupan kita bersatu dengan Tuhan dan seluruh dunia membantu dalam perjalanan
itu. Ini merupakan suatu tahap baru dalam spiritualitas kita.
P. Francesco Marini SX
Posting Komentar