Halloween party ideas 2015

Spiritualitas Kristiani



Semua agama bertujuan menjalin hubungan antara manusia dan Allah. Apakah dalam bentuk ritus, atau ketaatan moral, atau penerimaan Sabda, atau kegiatan rohani…: semuanya bermaksud mendekatkan manusia kepada Allah.

Ada juga orang yang bukan hanya bermaksud menjalin hubungan dengan Allah, tetapi menjadikan tujuan ini, tujuan tunggal atau utama semua usaha dan kegiatannya dan sampai mengalami dekatnya dan mesranya Tuhan. Kalau yang pertama bisa disebut orang beriman, yang kedua ini pantas disebut “mistikus”.

Semua agama mempunyai mistikus, baik agama Abrahamik maupun agama-agama Timur.
Rupanya, dalam setiap agama, jalan menuju Allah, baik dalam bentuk spiritualitas umum maupun dalam bentuk khusus mistikus, selalu melalui penyangkalan dunia, pengasingan… Rupanya, manusia itu bisa bertemu dengan Allah dengan mengatasi, melupakan, menyangkal… yang duniawi.

Dan ini memang masuk akal, karena Allah itu berbeda sekali dari semua dan setiap ciptaan. Kalau kita memegang sesuatu (pikiran, perasaan, imaginasi, ritus…) itu pasti berbeda dari Allah. Mungkin adalah simbolNya, tandaNya, pengantaraanNya, tetapi bukan Dia sebenarnya.

Tetapi, apakah itulah satu-satunya jalan menuju Tuhan? Apakah kita dapat bertemu dengan Tuhan hanya sejauh kita menolak dan menjauhi yang duniawi? Dan selama kita menyibukkan diri dengan kegiatan duniawi (yang merupakan mungkin 95% dari kehidupan kita) berarti kita tidak bisa bersatu dengan Tuhan? Dunia itu, hanya halangan? Atau bisa juga merupakan kesempatan dalam mendekati Tuhan?

Saya rasa, kita harus belajar menjadikan yang duniawi suatu jalan menuju Tuhan.

1. Karena, menurut iman kita, ciptaan itu sebenarnya tidak jauh dari Tuhan. Dunia bisa berada karena tetap dalam perlindungan dan topangan Tuhan. Setiap makluk berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan Tuhan berada dalamnya.

“Dia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada…” (Kis 17:27-28). “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1Kor 8:6). Ciptaan itu terus berasal dari padaNya, seakan-akan sekarang sedang keluar dari tanganNya. Andaikata dipisahkan dari Allah, hilanglah ciptaan itu!
Jadi, ciptaan itu, kalau dimengerti dan dilihat dengan mata iman, bukan sesuatu yang jauh dari Tuhan, tetapi sesuatu yang berada dalam Allah, menghadirkan Allah dan bisa menjadi pengantara dengan Tuhan.

2. Apalagi, dalam pandangan kristiani, Allah sendiri masuk dalam ciptaanNya, bahkan “menjadi daging” (Yoh 1: 14), menyatu dengan ciptaan, sehingga, dalam diri Yesus tidak bisa dipisahkan yang duniawi/manusiawi dari keilahianNya.

Sejak itu (Paulus mengatakan: sejak sediakala), seluruh dunia bersifat “kristik”.
“Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia… dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1:16-17); artinya: dari Dia mengambil keberadaan/eksistensi dan identitasnya.

3. Ditambah lagi pengertian keselamatan yang menyeluruh. Keselamatan itu tidak mencakup hanya jiwa, tetapi seluruh kepribadian (dengan pikiran, perasaan, nilai, relasi, bahkan badan sendiri yang akan ikut dalam kemuliaan nanti); tidak menyangkut hanya hubungan dengan Tuhan, tetapi juga relasi yang dalam dengan sesama manusia; tidak terwujud hanya sesudah kematian, tetapi sejak sekarang; tidak bersifat hanya individualistik, tetapi merangkul sejarah dan hubungan manusia yang seluas-luasnya…

Yesus berbicara tentang suatu “kehidupan dalam bentuk berlimpah” (Yoh 10:10) karena intinya adalah kesatuan antara Allah dan manusia dan dengan demikian memenuhi dan melimpahi semua hubungan yang lain… Jadi, kepenuhan kehidupan itu menyentuh seluruh hidup kita, bukan nampak dalam kegiatan rohani saja...

4. Jadi, kalau kita pikirkan:
- hubungan yang tidak terpisahkan antara Allah dan ciptaanNya,
- kesatuan yang misterius antara Allah dan manusia dalam Kristus,
- tujuan keselamatan itu yang bersifat menyeluruh,
dengan jelas nampak bahwa dunia itu bukan lawan Tuhan, hambatan dalam kesatuan mesra dengan Dia, tetapi jalan menuju kepadaNya. Seperti dikatakan dalam satu doa liturgi, kita harus “belajar mencintai Allah dalam segala hal dan di atas segala hal”.

Artinya, spiritualitas dan pengalaman mistikus itu, bisa tercapai melalui penyangkalan, tetapi bisa dicapai juga melalui dan dalam memakai dan bahkan dalam menikmati dunia. St. Paulus sendiri mengatakan: “jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31).

Kita harus berlatih dalam hal ini, supaya seluruh kehidupan kita bersatu dengan Tuhan dan seluruh dunia membantu dalam perjalanan itu. Ini merupakan suatu tahap baru dalam spiritualitas kita.



P. Francesco Marini SX

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.