Merajut
Cinta Pada Pelayanan di Mentawai
(P.Heri
Junianto Mardadus SX)
FOTO, Br Kornel SX |
Tawaran
untuk merefleksikan penghayatan hidup bhakti dalam karya misi di tengah-tengah
dunia yang menggiurkan dengan daya tariknya yang barangkali menidurkan kaum
religius dalam memberi kesaksian kenabiannya merupakan suatu kesempatan yang
berharga dan menggembirakan bagi saya. Apalagi tahun ini adalah peringatan 150
tahun kelahiran Pendiri kami, Santo
Guido Maria Conforti, dan perayaan Tahun Hidup Bhakti.
Dengan
permenungan ini saya bisa terbantu untuk melihat kembali sejauh mana kesetiaan
saya akan hidup yang sudah saya serahkan dan abdikan kepada Tuhan melalui
pelayanan kepada orang-orang yang Tuhan percayakan kepada saya melalui
Konggregasi[1] dapat
saya hayati. Setelah saya menerima tahbisan imamat, tugas perutusan saya yang
pertama adalah untuk membantu karya misi para konfrater di kepulauan Mentawai.
Tugas perutusan di Mentawai merupakan suatu pengalaman yang begitu menantang.
Betapa tidak! Tidak semua imam “mengiyakan” ketika diminta untuk bertugas di
kepulauan Mentawai. Hal itu mungkin dikarenakan keadaan Mentawai baik dilihat
dari segi geografis maupun pastoral sangatlah berbeda dengan karya-karya misi
Xaverian di Indonesia. Medan yang sulit dan keadaan umat yang miskin yang
menjadikan mereka mudah terombang ambing imannya dan bahkan meninggalkan iman
menjadi tantangan tersendiri bagi pelayan pastoral.
Hal
inilah yang membuat saya, yang belum genap satu tahun menjalani tugas imamat,
tertantang juga untuk menggali, mendalami dan menghayati panggilan sebagai
pelayan pastoral ketka saya menerima tahbisan imamat. Apakah hidup yang sudah
saya baktikan kepada Tuhan mewujud juga dalam pelayanan kepada umat? Sedalam
apa penghayatan saya akan kharisma konggregasi nyata dalam tugas perutusan di
kepulauan mentawai? Apakah kehadiran saya bisa membantu kesetiaan umat terhadap
iman akan Kristus? Tiga
pertanyaan itulah yang melandasi refleksi saya ini.
Saya
berharap refleksi yang saya bagikan ini bisa membantu saya secara pribadi dalam
membaharui dan membina diri saya sebagai seorang imam dan religius, khususnya
di Tahun Hidup Bhakti yang dicanangkan oleh Bapa suci Paus Fransiskus tahun
lalu 30 November 2014 sampai awal tahun depan 2 Februari 2016 dan peringatan
150 tahun kelahiran pendiri serikat kami, santo Guido Maria Conforti.
Kehadiran
yang Melayani
Paroki
di mana saya ditugaskan adalah Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga yang
letaknya di Kecamatan Siberut Selatan (Muara Siberut). Paroki ini melayani 5
wilayah yang terbagi dalam 25 stasi dan pusat paroki, dengan wilayah teritori
di 3 kecamatan yang berbeda. Paroki
ini terletak di Desa Siberut, yang juga merupakan pusat perekonomian
masyarakat. Wilayah teritori Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga sebenarnya tidak
cukup luas. Berhubung pembangunan sangat lamban, maka akses jalan yang
menghubungkan stasi yang satu ke stasi yang lain belum memadai. Hal itu
mengakibatkan pelayanan pastoral agak terhambat.
Transportasi
utama di pulau ini adalah transportasi air. Sungai dan lautan merupakan jalan
“tol” yang kami pakai ketika kami berkunjung dari stasi ke stasi. Hanya delapan
stasi yang bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor dan beberapa stasi harus
ditempuh dengan berjalan kaki. Hal itu menjadikan kegiatan misi mempunyai
tantangan tersendiri, sekaligus menghadirkan variasi-variasi bentuk misi karena
situasi umat di stasi yang satu berbeda dengan situasi umat di stasi yang lain.
Perutusan
saya untuk membantu konfrater yang bermisi di Paroki Siberut Selatan bukanlah
perutusan baru bagi saya. Perutusan pertama setelah ditahbiskan menjadi imam
Xaverian, yaitu untuk melayani saudara-saudari seiman di tanah misi, Mentawai,
merupakan kesempatan kali ketiga bagi saya menginjakkan kaki di Bumi Sikerei[2] ini. Kesempatan pertama adalah
ketika saya ditugaskan untuk menjalani masa Tahun Orientasi Misioner (TOM) pada
periode 2008-2009. Kesempatan berikutnya diberikan kepada saya ketika saya
menanti saat tahbisan imamat. Saya diminta untuk menjalani masa diakonat pada
bulan April-Juni 2014 di paroki yang sama yang sudah saya tinggalkan kurang
lebih lima tahun untuk melanjutkan tugas belajar saya. Setelah saya menerima
tahbisan imamat pada 11 Juli tahun lalu, saya pun kembali diutus oleh
Konggregasi di tempat yang sama.
Tepat
pada hari Jumat, tanggal 12 September 2014 pukul 17.10WIB, saya diantar menuju
ke pelabuhan Bungus Padang oleh pak supir. Seperti biasa, setiap kali datang ke
Padang selalu ada barang-barang yang mau dibawa ke Mentawai, baik itu berupa
surat-surat penting, Koran-koran bekas, baju-baju bekas, makanan untuk
anak-anak asrama putra dan putri, obat-obatan dan lain sebagainya. Tidak
mengherankan meskipun penumpang mobil hanya kami berdua, akan tetapi mobil
tampak penuh karena barang-barang bawaan yang pada
umumnya adalah berupa baju-baju bekas atau makanan sumbangan menumpuk di dalam mobil. Terkadang
melihat begitu banyaknya barang-barang untuk paroki, saya menjadi malas untuk
membawanya. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Banyak hal yang perlu dikerjakan.
Mulai dari memasukkannya ke kardus atau karung lalu mengepaknya. Setiap kardus
dan karung perlu ditandai supaya barang-barang tidak hilang atau tercampur
dengan milik orang. Belum lagi mengangkatnya ke mobil dan mengatur letaknya di
kapal. Tugas seperti itu terlihat sederhana tapi melelahkan.
Waktu
itu ketika kami tiba di pelabuhan saya melihat cukup banyak orang berangkat
juga ke Siberut. Mereka berlalu lalang mengantar barang-barang pribadi dan
dagangan. Dari loket, saya menatap kapal ferry “Gambolo” yang tampak penuh
dengan barang dan penumpang. Ketika memesan tiket, tiket hampir tidak bersisa.
Tinggal tiket kelas ekonomi tanpa tempat tidur yang masih bisa didapat.
Meskipun sedikit kecewa karena tidak ada lagi tiket yang menyediakan tempat
berbaring, akan tetapi saya tidak bisa menunda keberangkatan karena jadwal
untuk misa perdana sudah ditentukan. Demi pelayanan yang sudah dipercayakan
kepada saya untuk saudara-saudari di Mentawai saya pun mengeluarkan dompet
untuk membeli tiket tersebut. Hati kecil saya berkata bahwa inilah cara Tuhan
melatih diri saya supaya menjadi terbiasa dengan situasi yang bisa membantu
saya melepaskan bentuk-bentuk kenyamanan. Bukan saatnya saya mengeluh dalam
hal-hal kecil. Justru kesempatan itu adalah saat untuk menatap jauh ke depan
bahwa Tuhan sudah menanti saya di pulau seberang.
Kapal
ferry yang saya tumpangi pun siap berlayar. Saya menengadahkan kepala ke atas
untuk melihat apakah cuaca malam itu akan membawa ketenangan pada laut barat
Sumatra atau justru sebaliknya. Ternyata bulan dan bintang-bintang menunjukkan
sosoknya, bahkan tanpa diselubungi sedikitpun oleh awan. Itu menandakan bahwa
cuaca cerah dan perjalanan akan lancar. Memang ada rasa takut, cemas, gembira,
antusias bercampur aduk dalam hati saya. Perasaan campuraduk atau “gado-gado”,
tentu bukan gado-gado makanan kesukaan saya, menyelimuti batin ini.
Kemunculannya bukan karena perjalanan laut yang harus saya tempuh. Bagi saya
setelah sekian lama bolak-balik dari dan ke Siberut, laut sudah menjadi teman
perjalanan yang setia. Perasaan itu timbul ke permukaan lebih dikarenakan tugas
perutusan yang Konggregasi percayakan. Perjalanan kali itu berbeda dengan
perjalanan sebelumnya. Saat itu saya menuju Siberut bukan lagi sebagai frater
atau diakon, akan tetapi sebagai imam dengan tugas dan tanggung jawab yang
lebih menuntut. Dengan mengingat keterbatasan dan kelebihan yang ada pada diri,
tak jauh setelah kapal meninggalkan pelabuhan, saya menyerahkan semuanya pada
Tuhan, “Tuhan, Engkau sudah
mengutus dan mempercayakan saya pelayanan untuk mengabdikan diri kepada
orang-orang di Mentawai, anugerahkanlah kepada saya kesetiaan dan kerelaan
serta kemampuan untuk melayani, sehingga kehadiran saya menjadi berkat bagi
mereka. Jangan biarkan saya tersesat di tengah rimba kesibukan dan hobby yang
membuat saya lupa akan jati diri saya sebagai pelayan-Mu, sekaligus menjauhkan
Engkau dariku. Karena saya percaya bahwa apa yang sudah Engkau mulai akan pula
Engkau selesaikan dan beri jalan keluar yang terbaik.”
Setelah
menghabiskan perjalanan malam hampir 10 jam di atas lautan antara Pulau Sumatra
dan Siberut, akhirnya kapal berlabuh di dermaga Siberut. Dengan badan yang agak
lelah dan kantuk yang masih menempel di pelupuk mata, saya beranjak bangun dari
kursi di depan kantin kapal. Sambil berdesak-desakan dengan penumpang lain,
saya menghampiri ruang penyimpanan barang untuk menghitung jumlah kotak barang
bawaan dari Padang dan mengangkatnya ke mobil pick up yang sudah menunggu satu
jam yang lewat. Tugas angkut-mengangkut barang merupakan pengalaman biasa.
Kalau orang tidak mengenal saya, mereka mengira saya sopir atau buruh angkut
dermaga. Akan tetapi justru kerelaan untuk bekerja kasar sebagaimana orang
miskin kerjakan malah mendapat perhatian khusus dari umat. Tanpa kita sadari,
tindakan seperti itu menjadi kesaksian yang luar biasa di mata umat bahwa kaum
berjubah datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani, “Aku datang
bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani”(bdk. Mat 20:28).
Sesampainya
di Pastoran Siberut, kaki ini pun seolah tak mau tinggal diam, saya langsung
naik ke atas bukit pastoran. Tepat di depan gua Maria Ina sipasirom (Maria Bunda yang
memberi pertolongan), sambil mengarahkan pandangan ke depan, saya berkata pada
diri saya, “laut lepas, rimba
dan sungai tidak lain adalah realitas yang akan menjadi teman perjalanan yang
setia dalam menunaikan karya misi.” Dua
kali pengalaman kehadiran di pulau Siberut mendewasakan saya bahwa hanya dengan
mengandalkan kemampuan manusiawi saja karya misi tidak banyak
berbuah. Hal itulah yang
mendorong saya mengikuti jejak pendahulu yaitu Pastor Aurelio Canizarro[3] yang mempercayakan karya misinya
kepada Bunda Maria.
Dari
Kenyamanan ke Pelayanan yang menggembirakan
Satu
hal yang menguatkan saya untuk berani menerima tugas perutusan pertama saya
dengan gembira di Paroki Siberut adalah bukan karena saya sudah cukup mengenal
medan dan umat di paroki tersebut. Bukanlah pula karena pulau Siberut sudah
mengalami kemajuan. Mungkin saya salah tempat jika alasan-alasan tersebut
memotivasi saya berkarya di Mentawai. Akan tetapi saya melihat Mentawai sebagai
tempat yang tepat di mana saya bisa membasuh kaki saudara-saudari yang kotor
sebagaimana yang Tuhan sendiri minta dari murid-murid-Nya, “Jika Aku membasuh kakimu, Aku yang
adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun waib saling membasuh kakimu; sebab Aku
telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama
seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:14-15). Teladan totalitas Yesus inilah
yang menginspirasi setiap kali saya pergi berkunjung ke stasi. Kunjungan ke
stasi adalah kesempatan bagi saya untuk membasuh kaki saudara-saudari yang
tidak pernah berkasut dan yang selalu melewati tanah yang becek dan tak beraspal.
Kunjungan
ke stasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Dengan segala keterbatasan
fasilitas, sulitnya medan serta tantangan –tantangan yang lain, terkadang
membuat nyali menjadi ciut. Bahkan saya terkadang merasa ogah-ogahan berkunjung
ke tempat-tempat yang belum ada fasilitas MCK yang memadai. Tidak bisa
dipungikiri lagi kunjungan ke stasi juga dituntut untuk rela dan berani
meninggalkan kenyamanan yang ada di Pastoran. Teladan kerelaan dan keberanian
untuk tidak terikat pada kenyamanan saya dapatkan dari para misionaris yang
berkarya mendahului saya. Mereka dengan penuh keberanian dan kesetiaan
menjalankan karya misi mereka di Siberut sampai bertahun-tahun lamanya. Dari
kesaksian beberapa umat tentang para pastor Xaverian dan suster ALI, pendahulu
kami, mereka dulu bekerja dan berjuang dengan cukup keras demi pelayanan kepada
umat. Sebelum paroki mempunyai mesin speed boat, untuk mengunjungi umat di
stasi yang jauh, mereka harus mendayung sampan selama berjam-jam melewati laut
dan sungai di bawah terik matahari. Belum lagi jika stasi yang dikunjungi
berada jauh di tengah pedalaman, mereka memerlukan waktu berjam-jam bahkan
berhari-hari melewati rimba dan sungai dengan berjalan kaki. Tidak terbayangkan
sebesar apa perjuangan mereka. Hal yang sangat mengagumkan saya adalah mereka
tampak menikmati karya pelayanan mereka. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa
mungkin mereka pun punya keluhan baik fisik maupun mental, akan tetapi dengan
tetap penuh kegembiraan dan kesetiaan mereka menjalankan karya misi di tengah
tantangan-tantangan alam yang cukup berat. Saya melihat pengabdian mereka
kepada orang-orang Mentawai sebagai totalitas pemberian diri mereka demi
pewartaan Injil. Teladan generasi awal para misionaris di Kepulauan Mentawai menjadikan
saya lebih siap menjalankan pelayanan secara total dengan keberanian melepaskan
rutinitas yang nyaman menuju ke pengabdian yang menggembirakan meskipun
menuntut banyak pengorbanan, seperti yang diserukan oleh Paus Fransiskus, “Mewartakan Kristus adalah berarti
menunjukkan bahwa percaya kepada-Nya dan mengikuti Dia bukan hanya sesuatu yang
layak dan pantas, tetapi juga indah, mampu memenuhi kehidupan kita dengan
cahaya gemilang yang baru dan sukacita yang mendalam, bahkan di tengah-tengah
pencobaan hidup kita” (Evangelii Gaudiuum, n.167).
Medan
yang sulit tetap bisa kita jumpai di Mentawai. Sampai saat ini pun masih ada
satu wilayah,Sagulubbe,dengan beberapa stasi. Biasanya kami menjangkau
wilayah tersebut dengan sampan tak beratap yang bermesin speed boat 40 dan 15
PK. Di bawah panas terik matahari atau air hujan dan disertai percikan asinya
air laut yang membasahi sekujur tubuh, biasanya kami mengarungi samudra ke
tempat tujuan. Selama kurang lebih 3,5 jam kami berada di sampan kayu yang
berkapasitas 15 orang menuju wilayah yang terletak di pantai barat Mentawai
yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Ada 6 stasi di wilayah tersebut; satu
stasi pusat (Sagulubbe), dua stasi bisa dijangkau dengan naik motor (Lumago dan Masi),
satu stasi dengan sampan yang menyusuri sungai selama dua jam (Mongan teppu)
dan dua stasi lainnya harus di tempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 3-4 jam
di bibir pantai (Mapinang dan Siribabak).
Jantung
berdetak cepat begitu saya melihat jadwal kunjungan saya ke stasi yang terjauh,
stasi Siribabak, yang dihuni hanya oleh 6 keluarga
dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3,5 sampai 4 jam. “Saya perlu mempersiapkan hati dan
fisik untuk menempuh jarak sejauh itu”, pikir
saya. Saya mengambil waktu untuk menggenjot fisik saya. Dua hari sekali saya
bangun pagi-pagi buta untuk lari pagi. Dengan latihan olah raga kecil-kecilan,
saya berharap bisa terbantu untuk menjaga stamina agar tubuh tidak mudah lelah.
Tibalah
saatnya untuk kunjungan ke Stasi tersebut. Tidak hanya fisik yang perlu saya
persiapkan. Bekal pakaian dan makanan sepanjang perjalanan ke tempat kunjungan
pun perlu dipersiapkan. Akan tetapi saya perlu mengingat, semakin banyak bekal,
semakin berat perjalanan. Sebisa mungkin bekal makanan sepanjang perjalanan dan
baju ganti perlu dibatasi. Rasa lapar, haus, lelah, pegal, tampak degil dan
kumuh menjadi pengalaman yang wajar selama perjalanan menuju ke stasi. Berat
badan pasti turun 2-3 kilogram. Mungkin itu cukup bagi yang mempunyai program
diet, tapi bukan untuk saya yang sudah berisi lebih banyak tulangnya daripada
dagingnya. Kulit yang sudah hitam sejak lahir semakin tambah kelam. Telapak
kaki pun melepuh bersentuhan dengan panasnya pasir putih yang terkena sengatan
matahari. Tas yang isinya hanya baju ganti, 2 bungkus biskuit dan peralatan
misa harus diangkat setinggi-tingginya supaya tidak basah terkena air laut yang
mengalir keluar masuk muara sungai. Nama sungai itu adalah Boga dengan kedalaman 1,5 meter .Badan
pun terasa gatal dan perih setelah menyeberangi muara sungai yang harus kami
lewati setiap kali kunjungan.
Air
laut yang mengandung garam perlahan-lahan menjadi butiran kecil garam di atas
kulit dan baju yang sudah basah juga dengan keringat. Percampuran itu
mengakibatkan kulit mudah tergores dan luka yang akan membekas di kulit.
Beruntunglah saya! Pelayanan di Mentawai tidak menuntut penampilan yang rapi
dan bersih apalagi berdasi. Penampilan bukanlah faktor utama yang menentukan
misi di Mentawai. Keterbukaan untuk melayani dan kedekatan dengan umatlah yang
menjadi kunci utama misi kepada siapun kita diutus, “Kita adalah orang yang
mengkhususkan diri kepada Tuhan, kita sedang dalam perjalanan bersama Dia dan
menyesuaikan diri dengan-Nya, yakin bahwa perjumpaan dengan orang lain
merupakan jalan kesucian bagi kita” (Surat dari Direksi Jenderal SX kepada para
Konfrater dalam Rangka merayakan Tahun Hidup Bhakti 2015). Keterbukaan dan kedekatan dengan umat
bisa membantu saya menjadi misionaris yang sejati sekaligus menguatkan iman
umat seperti yang sering terucap dari umat, “kami
bangga menjadi orang Katolik karena para Pastor rela datang ke kampung kami
yang sangat jarang dikunjungi bahkan oleh pejabat pemerintah sekalipun”.
Melihat
Kristus yang tersalib dalam Diri Orang Mentawai
“Gambaran
pengalaman santo Conforti adalah Kristus tersalib” (Surat Direksi jenderal
kepada para konfrater dalam rangka merayakan tahun hidup bhakti hal.6). Pengalaman
itulah yang menjadi bagian dari pelayanan saya setiap kali berjumpa dengan
orang-orang Mentawai terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat perdagangan
dan pemerintahan. Terbatasnya fasilitas yang disediakan pemerintah menjadi
penghambat utama mereka untuk maju dan berkembang. Kurangnya fasilitas
kesehatan yang memadai di hampir setiap kampung mendorong mereka untuk tetap
mengandalkan pengobatan tradisional yang dijalankan Sikerei. Pendidikan menengah hanya bisa
ditemukan di pusat yang menjadikan anak-anak usia sekolah menengah meninggalkan
kampung dan hijrah ke pusat “kota”. Kerja keras yang mereka buat di ladang
untuk menanam pisang, nanas, sagu, keladi berakhir hanya untuk konsumsi pribadi
karena hasil ladang tidak begitu dihargai oleh para pedagang. Setiap kali
mereka membawa hasil bumi ke pusat dengan perahu bermesin “tempel” pulang
dengan kecewa karena pendapatan tidak sebanding dengan tenaga dan biaya
pengangkutan yang mereka buat. Tidak mengherankan jika hal itu melanggengkan
kemiskinan dan merendahkan martabat mereka.
Sulitnya
kehidupan dan ketidakmampuan mereka untuk mengikuti perkembangan zaman membuat
sebagian umat meninggalkan perkampungan dan kembali ke hutan untuk bertahan
hidup. Bahkan beberapa umat meninggalkan iman mereka karena adanya
“iming-iming” dari agama lain yang berupa uang, baju bekas, asrama, beasiswa
dan makanan. Beberapa stasi mengalami penurunan jumlah umat karena perpindahan
agama dan tempat bermukim. Dengan kondisi seperti itu kehadiran kaum religius
sangat diperlukan. Kehadiran sosok pribadi kaum berjubah selalu dinantikan umat
dalam situasi yang serba sulit bukan hanya untuk menghibur, memberi secercah
harapan, akan tetapi juga untuk berjalan bersama mereka, menemani mereka dan
merasakan apa yang mereka sedang alami. Paus Fransiskus telah menyerukan dengan
lantang bahwa dalam gereja kaum religius harus menarik dengan tindakan dan cara
hidup yang berbeda dari yang dunia tawarkan,” La
Chiesa deve essere attrattiva. Sveglia-te il mondo! Siate testimoni di un modo
diversodi fare, di agire, di vivere! È possibile vivere diversamente in questo
mondo” (Rallegratevi, hal.51) Meski seorang religius tidak harus menarik
secara fisik, akan tetapi seorang religius perlu menjadi menarik di segi yang
lain meski dalam keterbatasannya.
Sekitar
pertengahan bulan maret, saya berkunjung ke salah satu stasi di wilayah hulu.
Stasi tersebut adalah stasi Magosi. Kesempatan
kunjungan menjadi kesempatan berharga untuk mengetahui persoalan pribadi umat
maupun bersama. Biasanya saya bertanya tentang orang sakit kepada baja’ gereja.[4] Ada orang yang sakit yang sudah
saya kenal. Beberapa waktu sebelumnya kami bersama dengan umat sudah mendoakan
si sakit. Keluarga sudah membawanya ke puskesmas. Tetapi tidak ada tanda-tanda
kesembuhan. Mereka pun memutuskan untuk memanggil Sikerei. Semalam suntuk mereka mengadakan
upacara penyembuhan. Tentu saja ada pemotongan babi. Setelah misa, saya
berkunjung ke rumahnya karena tak seorang pun dari anggota keluarga yang datang
untuk merayakan ekaristi. Sesampai di rumahnya saya disambut oleh anggota
keluarganya. saya dibawa ke dalam rumah dekat dengan dapur. Di sanalah
dibaringkan si sakit. Ketika saya tengok, orang tersebut sudah tampak kurus,
layaknya orang yang sedang sakit keras. Saya pun mendekat dan
berbincang-bincang dengan dia dan seluruh anggota keluarga. Kami pun berdoa
bersama dan saya memberi berkat kepada si sakit. Salah satu anggota keluarga
membawa satu mangkok penuh batra (ulat sagu) yang sudah dimasak dalam
bambu. Mereka tahu bahwa batra adalah kesukaan saya. Tidak ada
sedikit pun mukjizat penyembuhan yang saya buat untuk dia. Bahkan sampai sekarang pun saya kurang
tahu apakah bapak yang sakit sudah membaik atau malah semakin parah. Akan
tetapi perjumpaan dengan si
sakit dan keluarga merupakan mukjizat persaudaraan yang Tuhan buat untuk kami.
Inilah yang dicita-citakan oleh Santo Guido Maria Conforti ketika mendirikan
Serikat Xaverian, yaitu untuk menjadikan dunia satu keluarga.
Sejauh
yang saya rasakan setiap masa dan tempat ada tantangan tersendiri dalam menjalankan
misi. Tantangan yang berbeda dan berat juga dialami oleh para religius di masa
dan tempat yang berbeda. Namun tantangan bukanlah akhir dari pelayanan yang
Tuhan sudah percayakan kepada kita. Saya tidak perlu segan memperlihatkan
sukacita dan harapan, duka dan kekhawatiran karena telah menjawab pada
panggilan Tuhan, pada pilihan-Nya. Di situlah letak cinta dan sukacita karena memberi
kesaksian tentang Injil dalam karya dan pelayanan yang sudah Tuhan percayakan.”Hidup
konsekrasi seharusnya mendorong kita untuk menjadi tanda efisien kebaikan dan
kerahiman Tuhan.” (Surat dari
Direksi Jenderal kepada Konfrater hal.
20)
[1] Konggregasi saya adalah Serikat Misionaris Xaverian (SX).
Konggregasi ini didirikan oleh St. Guido Maria Conforti tahun 1895. Kharisma SX
adalah mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus
terutama mereka yang miskin, terpinggirkan, terlupakan dan kehilangan harapan.
[2] Sikerei adalah orang tertentu yang terpanggil (bukan profesi) untuk menjadi semacam
pengantara antara dunia orang hidup dan roh, sekaligus punya kemampuan untuk
menyembuhkan. Panggalian
sebagai Sikerei punya peranan penting bagi
masyarakat Mentawai. Karenanya tidak mengherankan jika Mentawai disebut bumi Sikerei.
[3] Pastor
Aurellio Canizzaro adalah pastor pertama yang membuka karya misi Xaverian di
pulau Siberut pada tahun 1954. Di tengah keputusasannya, karena setelah
beberapa waktu kehadirannya di pulau Siberut, tak seorangpun bersedia menjadi
katolik, akhirnya beliau menyebarkan medali yang bergambarkan Bunda Maria tepat
di bukit yang sekarang ini telah dibangun gua Maria dengan nama, “Bukit Ina
Sipasirom”. Beberapa waktu kemudian sebelum beliau meninggalkan pulau tersebut,
ada beberapa orang yang menyatakan diri untuk menjadi Katolik. Mereka pun
dibaptis tepat malam Natal, 24 Desember 1954. Itulah awal dari misi Xaverian di
Mentawai.
[4] Baja’ gereja adalah salah satu jabatan yang
diberikan oleh paroki kepada salah satu umat untuk memimpin dan mengorganisir
semua urusan yang berkaitan dengan paroki.
*Dimuat di majalah KELUARGA KITA edisi Mei-Juli 2015
Posting Komentar