Halloween party ideas 2015

Merajut Cinta Pada Pelayanan di Mentawai
(P.Heri Junianto Mardadus SX)

FOTO, Br Kornel SX

Tawaran untuk merefleksikan penghayatan hidup bhakti dalam karya misi di tengah-tengah dunia yang menggiurkan dengan daya tariknya yang barangkali menidurkan kaum religius dalam memberi kesaksian kenabiannya merupakan suatu kesempatan yang berharga dan menggembirakan bagi saya. Apalagi tahun ini adalah peringatan 150 tahun kelahiran Pendiri kami, Santo Guido Maria Conforti, dan perayaan Tahun Hidup Bhakti.

Dengan permenungan ini saya bisa terbantu untuk melihat kembali sejauh mana kesetiaan saya akan hidup yang sudah saya serahkan dan abdikan kepada Tuhan melalui pelayanan kepada orang-orang yang Tuhan percayakan kepada saya melalui Konggregasi[1] dapat saya hayati. Setelah saya menerima tahbisan imamat, tugas perutusan saya yang pertama adalah untuk membantu karya misi para konfrater di kepulauan Mentawai. Tugas perutusan di Mentawai merupakan suatu pengalaman yang begitu menantang. Betapa tidak! Tidak semua imam “mengiyakan” ketika diminta untuk bertugas di kepulauan Mentawai. Hal itu mungkin dikarenakan keadaan Mentawai baik dilihat dari segi geografis maupun pastoral sangatlah berbeda dengan karya-karya misi Xaverian di Indonesia. Medan yang sulit dan keadaan umat yang miskin yang menjadikan mereka mudah terombang ambing imannya dan bahkan meninggalkan iman menjadi tantangan tersendiri bagi pelayan pastoral.

Hal inilah yang membuat saya, yang belum genap satu tahun menjalani tugas imamat, tertantang juga untuk menggali, mendalami dan menghayati panggilan sebagai pelayan pastoral ketka saya menerima tahbisan imamat. Apakah hidup yang sudah saya baktikan kepada Tuhan mewujud juga dalam pelayanan kepada umat? Sedalam apa penghayatan saya akan kharisma konggregasi nyata dalam tugas perutusan di kepulauan mentawai? Apakah kehadiran saya bisa membantu kesetiaan umat terhadap iman akan Kristus? Tiga pertanyaan itulah yang melandasi refleksi saya ini.

Saya berharap refleksi yang saya bagikan ini bisa membantu saya secara pribadi dalam membaharui dan membina diri saya sebagai seorang imam dan religius, khususnya di Tahun Hidup Bhakti yang dicanangkan oleh Bapa suci Paus Fransiskus tahun lalu 30 November 2014 sampai awal tahun depan 2 Februari 2016 dan peringatan 150 tahun kelahiran pendiri serikat kami, santo Guido Maria Conforti. 

Kehadiran yang Melayani
Paroki di mana saya ditugaskan adalah Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga yang letaknya di Kecamatan Siberut Selatan (Muara Siberut). Paroki ini melayani 5 wilayah yang terbagi dalam 25 stasi dan pusat paroki, dengan wilayah teritori di 3 kecamatan yang berbeda. Paroki ini terletak di Desa Siberut, yang juga merupakan pusat perekonomian masyarakat. Wilayah teritori Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga sebenarnya tidak cukup luas. Berhubung pembangunan sangat lamban, maka akses jalan yang menghubungkan stasi yang satu ke stasi yang lain belum memadai. Hal itu mengakibatkan pelayanan pastoral agak terhambat.

Transportasi utama di pulau ini adalah transportasi air. Sungai dan lautan merupakan jalan “tol” yang kami pakai ketika kami berkunjung dari stasi ke stasi. Hanya delapan stasi yang bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor dan beberapa stasi harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hal itu menjadikan kegiatan misi mempunyai tantangan tersendiri, sekaligus menghadirkan variasi-variasi bentuk misi karena situasi umat di stasi yang satu berbeda dengan situasi umat di stasi yang lain.

Perutusan saya untuk membantu konfrater yang bermisi di Paroki Siberut Selatan bukanlah perutusan baru bagi saya. Perutusan pertama setelah ditahbiskan menjadi imam Xaverian, yaitu untuk melayani saudara-saudari seiman di tanah misi, Mentawai, merupakan kesempatan kali ketiga bagi saya menginjakkan kaki di Bumi Sikerei[2] ini. Kesempatan pertama adalah ketika saya ditugaskan untuk menjalani masa Tahun Orientasi Misioner (TOM) pada periode 2008-2009. Kesempatan berikutnya diberikan kepada saya ketika saya menanti saat tahbisan imamat. Saya diminta untuk menjalani masa diakonat pada bulan April-Juni 2014 di paroki yang sama yang sudah saya tinggalkan kurang lebih lima tahun untuk melanjutkan tugas belajar saya. Setelah saya menerima tahbisan imamat pada 11 Juli tahun lalu, saya pun kembali diutus oleh Konggregasi di tempat yang sama.

Tepat pada hari Jumat, tanggal 12 September 2014 pukul 17.10WIB, saya diantar menuju ke pelabuhan Bungus Padang oleh pak supir. Seperti biasa, setiap kali datang ke Padang selalu ada barang-barang yang mau dibawa ke Mentawai, baik itu berupa surat-surat penting, Koran-koran bekas, baju-baju bekas, makanan untuk anak-anak asrama putra dan putri, obat-obatan dan lain sebagainya. Tidak mengherankan meskipun penumpang mobil hanya kami berdua, akan tetapi mobil tampak penuh karena barang-barang bawaan yang pada umumnya adalah berupa baju-baju bekas atau makanan sumbangan menumpuk di dalam mobil. Terkadang melihat begitu banyaknya barang-barang untuk paroki, saya menjadi malas untuk membawanya. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Banyak hal yang perlu dikerjakan. Mulai dari memasukkannya ke kardus atau karung lalu mengepaknya. Setiap kardus dan karung perlu ditandai supaya barang-barang tidak hilang atau tercampur dengan milik orang. Belum lagi mengangkatnya ke mobil dan mengatur letaknya di kapal. Tugas seperti itu terlihat sederhana tapi melelahkan.
Waktu itu ketika kami tiba di pelabuhan saya melihat cukup banyak orang berangkat juga ke Siberut. Mereka berlalu lalang mengantar barang-barang pribadi dan dagangan. Dari loket, saya menatap kapal ferry “Gambolo” yang tampak penuh dengan barang dan penumpang. Ketika memesan tiket, tiket hampir tidak bersisa. Tinggal tiket kelas ekonomi tanpa tempat tidur yang masih bisa didapat. Meskipun sedikit kecewa karena tidak ada lagi tiket yang menyediakan tempat berbaring, akan tetapi saya tidak bisa menunda keberangkatan karena jadwal untuk misa perdana sudah ditentukan. Demi pelayanan yang sudah dipercayakan kepada saya untuk saudara-saudari di Mentawai saya pun mengeluarkan dompet untuk membeli tiket tersebut. Hati kecil saya berkata bahwa inilah cara Tuhan melatih diri saya supaya menjadi terbiasa dengan situasi yang bisa membantu saya melepaskan bentuk-bentuk kenyamanan. Bukan saatnya saya mengeluh dalam hal-hal kecil. Justru kesempatan itu adalah saat untuk menatap jauh ke depan bahwa Tuhan sudah menanti saya di pulau seberang.   
Kapal ferry yang saya tumpangi pun siap berlayar. Saya menengadahkan kepala ke atas untuk melihat apakah cuaca malam itu akan membawa ketenangan pada laut barat Sumatra atau justru sebaliknya. Ternyata bulan dan bintang-bintang menunjukkan sosoknya, bahkan tanpa diselubungi sedikitpun oleh awan. Itu menandakan bahwa cuaca cerah dan perjalanan akan lancar. Memang ada rasa takut, cemas, gembira, antusias bercampur aduk dalam hati saya. Perasaan campuraduk atau “gado-gado”, tentu bukan gado-gado makanan kesukaan saya, menyelimuti batin ini. Kemunculannya bukan karena perjalanan laut yang harus saya tempuh. Bagi saya setelah sekian lama bolak-balik dari dan ke Siberut, laut sudah menjadi teman perjalanan yang setia. Perasaan itu timbul ke permukaan lebih dikarenakan tugas perutusan yang Konggregasi percayakan. Perjalanan kali itu berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Saat itu saya menuju Siberut bukan lagi sebagai frater atau diakon, akan tetapi sebagai imam dengan tugas dan tanggung jawab yang lebih menuntut. Dengan mengingat keterbatasan dan kelebihan yang ada pada diri, tak jauh setelah kapal meninggalkan pelabuhan, saya menyerahkan semuanya pada Tuhan, “Tuhan, Engkau sudah mengutus dan mempercayakan saya pelayanan untuk mengabdikan diri kepada orang-orang di Mentawai, anugerahkanlah kepada saya kesetiaan dan kerelaan serta kemampuan untuk melayani, sehingga kehadiran saya menjadi berkat bagi mereka. Jangan biarkan saya tersesat di tengah rimba kesibukan dan hobby yang membuat saya lupa akan jati diri saya sebagai pelayan-Mu, sekaligus menjauhkan Engkau dariku. Karena saya percaya bahwa apa yang sudah Engkau mulai akan pula Engkau selesaikan dan beri jalan keluar yang terbaik.”

Setelah menghabiskan perjalanan malam hampir 10 jam di atas lautan antara Pulau Sumatra dan Siberut, akhirnya kapal berlabuh di dermaga Siberut. Dengan badan yang agak lelah dan kantuk yang masih menempel di pelupuk mata, saya beranjak bangun dari kursi di depan kantin kapal. Sambil berdesak-desakan dengan penumpang lain, saya menghampiri ruang penyimpanan barang untuk menghitung jumlah kotak barang bawaan dari Padang dan mengangkatnya ke mobil pick up yang sudah menunggu satu jam yang lewat. Tugas angkut-mengangkut barang merupakan pengalaman biasa. Kalau orang tidak mengenal saya, mereka mengira saya sopir atau buruh angkut dermaga. Akan tetapi justru kerelaan untuk bekerja kasar sebagaimana orang miskin kerjakan malah mendapat perhatian khusus dari umat. Tanpa kita sadari, tindakan seperti itu menjadi kesaksian yang luar biasa di mata umat bahwa kaum berjubah datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani, “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani”(bdk. Mat 20:28).

Sesampainya di Pastoran Siberut, kaki ini pun seolah tak mau tinggal diam, saya langsung naik ke atas bukit pastoran. Tepat di depan gua Maria Ina sipasirom (Maria Bunda yang memberi pertolongan), sambil mengarahkan pandangan ke depan, saya berkata pada diri saya, “laut lepas, rimba dan sungai tidak lain adalah realitas yang akan menjadi teman perjalanan yang setia dalam menunaikan karya misi.” Dua kali pengalaman kehadiran di pulau Siberut mendewasakan saya bahwa hanya dengan mengandalkan kemampuan manusiawi  saja  karya misi tidak banyak berbuah.  Hal itulah yang mendorong saya mengikuti jejak pendahulu yaitu Pastor Aurelio Canizarro[3] yang mempercayakan karya misinya kepada Bunda Maria.

Dari Kenyamanan ke Pelayanan yang menggembirakan

Satu hal yang menguatkan saya untuk berani menerima tugas perutusan pertama saya dengan gembira di Paroki Siberut adalah bukan karena saya sudah cukup mengenal medan dan umat di paroki tersebut. Bukanlah pula karena pulau Siberut sudah mengalami kemajuan. Mungkin saya salah tempat jika alasan-alasan tersebut memotivasi saya berkarya di Mentawai. Akan tetapi saya melihat Mentawai sebagai tempat yang tepat di mana saya bisa membasuh kaki saudara-saudari yang kotor sebagaimana yang Tuhan sendiri minta dari murid-murid-Nya, “Jika Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun waib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:14-15). Teladan totalitas Yesus inilah yang menginspirasi setiap kali saya pergi berkunjung ke stasi. Kunjungan ke stasi adalah kesempatan bagi saya untuk membasuh kaki saudara-saudari yang tidak pernah berkasut dan yang selalu melewati tanah yang becek dan tak beraspal. 

Kunjungan ke stasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Dengan segala keterbatasan fasilitas, sulitnya medan serta tantangan –tantangan yang lain, terkadang membuat nyali menjadi ciut. Bahkan saya terkadang merasa ogah-ogahan berkunjung ke tempat-tempat yang belum ada fasilitas MCK yang memadai. Tidak bisa dipungikiri lagi kunjungan ke stasi juga dituntut untuk rela dan berani meninggalkan kenyamanan yang ada di Pastoran. Teladan kerelaan dan keberanian untuk tidak terikat pada kenyamanan saya dapatkan dari para misionaris yang berkarya mendahului saya. Mereka dengan penuh keberanian dan kesetiaan menjalankan karya misi mereka di Siberut sampai bertahun-tahun lamanya. Dari kesaksian beberapa umat tentang para pastor Xaverian dan suster ALI, pendahulu kami, mereka dulu bekerja dan berjuang dengan cukup keras demi pelayanan kepada umat. Sebelum paroki mempunyai mesin speed boat, untuk mengunjungi umat di stasi yang jauh, mereka harus mendayung sampan selama berjam-jam melewati laut dan sungai di bawah terik matahari. Belum lagi jika stasi yang dikunjungi berada jauh di tengah pedalaman, mereka memerlukan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari melewati rimba dan sungai dengan berjalan kaki. Tidak terbayangkan sebesar apa perjuangan mereka. Hal yang sangat mengagumkan saya adalah mereka tampak menikmati karya pelayanan mereka. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa mungkin mereka pun punya keluhan baik fisik maupun mental, akan tetapi dengan tetap penuh kegembiraan dan kesetiaan mereka menjalankan karya misi di tengah tantangan-tantangan alam yang cukup berat. Saya melihat pengabdian mereka kepada orang-orang Mentawai sebagai totalitas pemberian diri mereka demi pewartaan Injil. Teladan generasi awal para misionaris di Kepulauan Mentawai menjadikan saya lebih siap menjalankan pelayanan secara total dengan keberanian melepaskan rutinitas yang nyaman menuju ke pengabdian yang menggembirakan meskipun menuntut banyak pengorbanan, seperti yang diserukan oleh Paus Fransiskus, “Mewartakan Kristus adalah berarti menunjukkan bahwa percaya kepada-Nya dan mengikuti Dia bukan hanya sesuatu yang layak dan pantas, tetapi juga indah, mampu memenuhi kehidupan kita dengan cahaya gemilang yang baru dan sukacita yang mendalam, bahkan di tengah-tengah pencobaan hidup kita” (Evangelii Gaudiuum, n.167).

Medan yang sulit tetap bisa kita jumpai di Mentawai. Sampai saat ini pun masih ada satu wilayah,Sagulubbe,dengan beberapa stasi. Biasanya kami menjangkau wilayah tersebut dengan sampan tak beratap yang bermesin speed boat 40 dan 15 PK. Di bawah panas terik matahari atau air hujan dan disertai percikan asinya air laut yang membasahi sekujur tubuh, biasanya kami mengarungi samudra ke tempat tujuan. Selama kurang lebih 3,5 jam kami berada di sampan kayu yang berkapasitas 15 orang menuju wilayah yang terletak di pantai barat Mentawai yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Ada 6 stasi di wilayah tersebut; satu stasi pusat (Sagulubbe), dua stasi bisa dijangkau dengan naik motor (Lumago dan Masi), satu stasi dengan sampan yang menyusuri sungai selama dua jam (Mongan teppu) dan dua stasi lainnya harus di tempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 3-4 jam di bibir pantai (Mapinang dan Siribabak).

Jantung berdetak cepat begitu saya melihat jadwal kunjungan saya ke stasi yang terjauh, stasi Siribabak, yang dihuni hanya oleh 6 keluarga dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3,5 sampai 4 jam. “Saya perlu mempersiapkan hati dan fisik untuk menempuh jarak sejauh itu”, pikir saya. Saya mengambil waktu untuk menggenjot fisik saya. Dua hari sekali saya bangun pagi-pagi buta untuk lari pagi. Dengan latihan olah raga kecil-kecilan, saya berharap bisa terbantu untuk menjaga stamina agar tubuh tidak mudah lelah.

Tibalah saatnya untuk kunjungan ke Stasi tersebut. Tidak hanya fisik yang perlu saya persiapkan. Bekal pakaian dan makanan sepanjang perjalanan ke tempat kunjungan pun perlu dipersiapkan. Akan tetapi saya perlu mengingat, semakin banyak bekal, semakin berat perjalanan. Sebisa mungkin bekal makanan sepanjang perjalanan dan baju ganti perlu dibatasi. Rasa lapar, haus, lelah, pegal, tampak degil dan kumuh menjadi pengalaman yang wajar selama perjalanan menuju ke stasi. Berat badan pasti turun 2-3 kilogram. Mungkin itu cukup bagi yang mempunyai program diet, tapi bukan untuk saya yang sudah berisi lebih banyak tulangnya daripada dagingnya. Kulit yang sudah hitam sejak lahir semakin tambah kelam. Telapak kaki pun melepuh bersentuhan dengan panasnya pasir putih yang terkena sengatan matahari. Tas yang isinya hanya baju ganti, 2 bungkus biskuit dan peralatan misa harus diangkat setinggi-tingginya supaya tidak basah terkena air laut yang mengalir keluar masuk muara sungai. Nama sungai itu adalah Boga dengan kedalaman 1,5 meter .Badan pun terasa gatal dan perih setelah menyeberangi muara sungai yang harus kami lewati setiap kali kunjungan.

Air laut yang mengandung garam perlahan-lahan menjadi butiran kecil garam di atas kulit dan baju yang sudah basah juga dengan keringat. Percampuran itu mengakibatkan kulit mudah tergores dan luka yang akan membekas di kulit. Beruntunglah saya! Pelayanan di Mentawai tidak menuntut penampilan yang rapi dan bersih apalagi berdasi. Penampilan bukanlah faktor utama yang menentukan misi di Mentawai. Keterbukaan untuk melayani dan kedekatan dengan umatlah yang menjadi kunci utama misi kepada siapun kita diutus, “Kita adalah orang yang mengkhususkan diri kepada Tuhan, kita sedang dalam perjalanan bersama Dia dan menyesuaikan diri dengan-Nya, yakin bahwa perjumpaan dengan orang lain merupakan jalan kesucian bagi kita” (Surat dari Direksi Jenderal SX kepada para Konfrater dalam Rangka merayakan Tahun Hidup Bhakti 2015). Keterbukaan dan kedekatan dengan umat bisa membantu saya menjadi misionaris yang sejati sekaligus menguatkan iman umat seperti yang sering terucap dari umat, “kami bangga menjadi orang Katolik karena para Pastor rela datang ke kampung kami yang sangat jarang dikunjungi bahkan oleh pejabat pemerintah sekalipun”.

Melihat Kristus yang tersalib dalam Diri Orang Mentawai
“Gambaran pengalaman santo Conforti adalah Kristus tersalib” (Surat Direksi jenderal kepada para konfrater dalam rangka merayakan tahun hidup bhakti hal.6). Pengalaman itulah yang menjadi bagian dari pelayanan saya setiap kali berjumpa dengan orang-orang Mentawai terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat perdagangan dan pemerintahan. Terbatasnya fasilitas yang disediakan pemerintah menjadi penghambat utama mereka untuk maju dan berkembang. Kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai di hampir setiap kampung mendorong mereka untuk tetap mengandalkan pengobatan tradisional yang dijalankan Sikerei. Pendidikan menengah hanya bisa ditemukan di pusat yang menjadikan anak-anak usia sekolah menengah meninggalkan kampung dan hijrah ke pusat “kota”. Kerja keras yang mereka buat di ladang untuk menanam pisang, nanas, sagu, keladi berakhir hanya untuk konsumsi pribadi karena hasil ladang tidak begitu dihargai oleh para pedagang. Setiap kali mereka membawa hasil bumi ke pusat dengan perahu bermesin “tempel” pulang dengan kecewa karena pendapatan tidak sebanding dengan tenaga dan biaya pengangkutan yang mereka buat. Tidak mengherankan jika hal itu melanggengkan kemiskinan dan merendahkan martabat mereka.

Sulitnya kehidupan dan ketidakmampuan mereka untuk mengikuti perkembangan zaman membuat sebagian umat meninggalkan perkampungan dan kembali ke hutan untuk bertahan hidup. Bahkan beberapa umat meninggalkan iman mereka karena adanya “iming-iming” dari agama lain yang berupa uang, baju bekas, asrama, beasiswa dan makanan. Beberapa stasi mengalami penurunan jumlah umat karena perpindahan agama dan tempat bermukim. Dengan kondisi seperti itu kehadiran kaum religius sangat diperlukan. Kehadiran sosok pribadi kaum berjubah selalu dinantikan umat dalam situasi yang serba sulit bukan hanya untuk menghibur, memberi secercah harapan, akan tetapi juga untuk berjalan bersama mereka, menemani mereka dan merasakan apa yang mereka sedang alami. Paus Fransiskus telah menyerukan dengan lantang bahwa dalam gereja kaum religius harus menarik dengan tindakan dan cara hidup yang berbeda dari yang dunia tawarkan,” La Chiesa deve essere attrattiva. Sveglia-te il mondo! Siate testimoni di un modo diversodi fare, di agire, di vivere! È possibile vivere diversamente in questo mondo” (Rallegratevi, hal.51) Meski seorang religius tidak harus menarik secara fisik, akan tetapi seorang religius perlu menjadi menarik di segi yang lain meski dalam keterbatasannya.

Sekitar pertengahan bulan maret, saya berkunjung ke salah satu stasi di wilayah hulu. Stasi tersebut adalah stasi Magosi. Kesempatan kunjungan menjadi kesempatan berharga untuk mengetahui persoalan pribadi umat maupun bersama. Biasanya saya bertanya tentang orang sakit kepada  baja’ gereja.[4] Ada orang yang sakit yang sudah saya kenal. Beberapa waktu sebelumnya kami bersama dengan umat sudah mendoakan si sakit. Keluarga sudah membawanya ke puskesmas. Tetapi tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Mereka pun memutuskan untuk memanggil Sikerei. Semalam suntuk mereka mengadakan upacara penyembuhan. Tentu saja ada pemotongan babi. Setelah misa, saya berkunjung ke rumahnya karena tak seorang pun dari anggota keluarga yang datang untuk merayakan ekaristi. Sesampai di rumahnya saya disambut oleh anggota keluarganya. saya dibawa ke dalam rumah dekat dengan dapur. Di sanalah dibaringkan si sakit. Ketika saya tengok, orang tersebut sudah tampak kurus, layaknya orang yang sedang sakit keras. Saya pun mendekat dan berbincang-bincang dengan dia dan seluruh anggota keluarga. Kami pun berdoa bersama dan saya memberi berkat kepada si sakit. Salah satu anggota keluarga membawa satu mangkok penuh batra (ulat sagu) yang sudah dimasak dalam bambu. Mereka tahu bahwa batra adalah kesukaan saya. Tidak ada sedikit pun mukjizat penyembuhan yang saya buat untuk dia. Bahkan  sampai sekarang pun saya kurang tahu apakah bapak yang sakit sudah membaik atau malah semakin parah. Akan tetapi  perjumpaan dengan si sakit dan keluarga merupakan mukjizat persaudaraan yang Tuhan buat untuk kami. Inilah yang dicita-citakan oleh Santo Guido Maria Conforti ketika mendirikan Serikat Xaverian, yaitu untuk menjadikan dunia satu keluarga. 

Sejauh yang saya rasakan setiap masa dan tempat ada tantangan tersendiri dalam menjalankan misi. Tantangan yang berbeda dan berat juga dialami oleh para religius di masa dan tempat yang berbeda. Namun tantangan bukanlah akhir dari pelayanan yang Tuhan sudah percayakan kepada kita. Saya tidak perlu segan memperlihatkan sukacita dan harapan, duka dan kekhawatiran karena telah menjawab pada panggilan Tuhan, pada pilihan-Nya. Di situlah letak  cinta dan sukacita karena memberi kesaksian tentang Injil dalam karya dan pelayanan yang sudah Tuhan percayakan.”Hidup konsekrasi seharusnya mendorong kita untuk menjadi tanda efisien kebaikan dan kerahiman Tuhan.” (Surat dari Direksi Jenderal kepada Konfrater hal. 20)



[1] Konggregasi saya adalah Serikat Misionaris Xaverian (SX). Konggregasi ini didirikan oleh St. Guido Maria Conforti tahun 1895. Kharisma SX adalah mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus terutama mereka yang miskin, terpinggirkan, terlupakan dan kehilangan harapan.
[2] Sikerei adalah orang tertentu yang terpanggil (bukan profesi) untuk menjadi semacam pengantara antara dunia orang hidup dan roh, sekaligus punya kemampuan untuk menyembuhkan. Panggalian sebagai Sikerei punya peranan penting bagi masyarakat Mentawai. Karenanya tidak mengherankan jika Mentawai disebut bumi Sikerei.  
[3] Pastor Aurellio Canizzaro adalah pastor pertama yang membuka karya misi Xaverian di pulau Siberut pada tahun 1954. Di tengah keputusasannya, karena setelah beberapa waktu kehadirannya di pulau Siberut, tak seorangpun bersedia menjadi katolik, akhirnya beliau menyebarkan medali yang bergambarkan Bunda Maria tepat di bukit yang sekarang ini telah dibangun gua Maria dengan nama, “Bukit Ina Sipasirom”. Beberapa waktu kemudian sebelum beliau meninggalkan pulau tersebut, ada beberapa orang yang menyatakan diri untuk menjadi Katolik. Mereka pun dibaptis tepat malam Natal, 24 Desember 1954. Itulah awal dari misi Xaverian di Mentawai. 
[4] Baja’ gereja adalah salah satu jabatan yang diberikan oleh paroki kepada salah satu umat untuk memimpin dan mengorganisir semua urusan yang berkaitan dengan paroki.


*Dimuat di majalah KELUARGA KITA edisi Mei-Juli 2015

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.