Halloween party ideas 2015

MENJADI RASUL DI KOTA PARMA

bergembira bersama anak-anak imigran di kota Parma

Tulisan ini hanyalah sepenggal pengalaman saya dalam merasul. Merasul merupakan salah satu tugas wajib para calon Xaverian. Kelak nantinya akan tetap menjadi tugas khas setelah menjadi Xaverian imam atau bruder (dengan mengikrarkan kaul seumur hidup). Oleh sebab itu, saya batasi cakupan kerasulan di sini sebagai bentuk formasi (pembinaan) dan bukan kerasulan yang dijalankan oleh para Xaverian yang berkaul kekal.

Merasul berarti menjalankan tugas sebagai rasul. Kita bisa lihat tugas para rasul dalam kitab suci khususnya keempat injil dan kisah para rasul. Kalau dirangkum, tugas seorang rasul mencakup hal berikut. Mengikuti, mendengar, melakukan apa yang diperintahkan, berdoa, dan tingal bersama dengan Yesus. Ini bentuk kerasulan ala murid Yesus. Merasul ala Xaverian lain lagi.

Merasul ala Xaverian konkretnya seperti ini. Ikut menjadi pembimbing bina iman anak di paroki atau lingkungan, mendampingi calon baptis atau katekumen atau calon komuni pertama, melayani orang sakit di panti asuhan atau panti jompo, membantu anak jalanan, menjadi pemulung, mengajar agama Katolik di sekolah atau universitas, mendapingi rekoleksi atau retret, mengajar pendidikan atau pengetahuan umum pada anak-anak yang tidak mampu. Bentuk konkret ini saya lihat dan saya lakukan selama masa formasi dari Yogyakarta, Bintaro, dan Cempaka Putih, Jakarta. Merasul dalam konteks ini mencakup bidang sosial, agama, dan pendidikan.

Menjadi rasul di kota Parma, Italia, lain lagi. Tentu saja ada yang sama. Tetapi, ada hal baru yang saya lakukan yaitu mengikuti kelompok lectio divina, mengunjungi keluarga imigran, berdialog dengan mereka seputar keadaan keluarga dan suasana kerja, membantu mencarikan bantuan untuk keluarga imigran yang tidak mampu. Ini yang belum saya alami di Indonesia.

Bicara tentang imigran memang menarik. Saya juga termasuk imigran di kota Parma. Lebih pasnya imigran-mahasiswa karena sedang belajar. Atau juga imigran-religius-missionaris. Saya bangga tentunya menjadi imigran-missionaris. Membawa nama negara Indonesia yang nota bene sebagai negara Islam terbesar dan terbanyak penduduknya di dunia.

Paus Fransiskus dan para Katekis
Saya merasul di Paroki Santa Cristina di jantung kota Parma. Setiap hari Minggu, datang penduduk imigran serta anak-anak mereka untuk misa mingguan. Mayoritas dari benua Afrika (Nigeria, Gana, Kamerun, dan beberapa negara lainnya). Dari Asia juga ada (Filipina dan Indonesia, saya sendiri). Jadi, kami mengikuti ‘misa internasional’.

Pada Rabu sore, kami mengadakan katekese atau pendampingan untuk anak-anak calon baptis, calon komuni, dan calon krisma. Anak-anak yang datang bukan saja berbangsa Italia tetapi juga ada anak-anak imigran. Di kelas saya, ada 1 orang anak berkebangsaan Nigeria, 1 berkebangsaan Equador, 1 berkebangsaan Pakistan, dan 5 lainnya Italia. Kami semua menjadi satu keluarga internasional dalam kelompok ini.

Saya belajar untuk memberi katekese kepada anak-anak. Tugas ini tidak mudah tentunya terutama tahun lalu ketika saya masih bergulat dengan tugas belajar bahasa. Belajar bahasa dan budaya orang tidak mudah tetapi menjadi menarik ketika mampu memberikan diri untuk mempelajarinya.

Tentang tugas menjadi katekis ini saya ingin membagikan pesan menarik dari Paus Fransiskus kepada para katekis. Dia menyampaikan pesan ini pada 27 September tahun 2013 yang lalu di aula Paulus VI di kota Roma. Ada 3 hal menarik yang harus dimiliki oleh seorang katekis. Pertama, katekis harus mempunya relasi khusus dengan Yesus. Kedua, katekis harus belajar dari Yesus untuk keluar dari dirinya sendiri dan pergi untuk bertemu dengan sesama. Ketiga, bersama Yesus, katekis tidak perlu takut untuk pergi dengan-Nya ke daerah yang sulit.

Bagi saya, ketiga pesan Paus di atas relevan dengan tugas kerasulan saya. Dalam pertemuan dwi-bulanan bersama pastor paroki, dia sering mendorong kami untuk membina relasi khusus dengan Yesus jika ingin menjadi katekis yang baik. Saya sungguh merasa terbantu dengan relasi khusus ini. Dengan ini juga, saya mengajak anak-anak binaan kami untuk sering berdoa. Kami berangkat dari kelas. Memulai dan megakhiri kegiatan dengan berdoa bersama sambil bergandengan tangan.

Saya juga belajar untuk keluar dari diri sendiri untuk bisa masuk dalam dunia anak-anak yang budaya dan bahasanya berbeda dengan saya. Kadang-kadang mau marah dengan anak-anak tetapi tidak bisa mengungkapkannya dalam bahasa anak-anak. Ini yang menarik. Dan memang, kalau tidak keluar dari diri sendiri, saya tidak bisa masuk dalam dunia mereka. Pengalaman keluar dari diri sendiri juga saya alami saat mencoba untuk berbagi pengalaman, ‘sharing’ dengan kelompok lectio divina. Pada mulanya sulit apalagi bahasa terbatas. Lama-lama jadi bisa. 

Pesan ketiga belum tampak dalam tugas sebagai katekis tetapi tampak dalam tugas kerasulan lain yakni bertemu dengan ‘orang-orang kecil’ di pinggiran kota Parma.

Contoh dari Santo Conforti
Kerasulan lain yaitu kunjungan ke keluarga imigran dari Romania, Makedonia, Tunisia, Maroko, Iran, dan Turki. Mereka beragama Islam dan tinggal di 3 apartemen di pinggiran kota Parma. Setiap hari Sabtu, dua kali sebulan, kami mengunjungi mereka. Jarak dari rumah kami ke sana sekitar 8 km. Sekitar 30 menit dengan mobil pribadi. Kalau naik angkutan kota, dua kali ganti, dan menghabiskan sekitar 1,5 jam, termasuk waktu tunggu.

Di sana, kami mendampingi anak-anak mereka mengerjakan tugas sekolah. Kadang-kadang bermain bersama. Sepak bola, petak umpet, tebak-tebakan, dan banyak jenis lainnya . Bersama para relawan lainnya, juga dari kelompok pramuka di kota Parma, sekali sebulan kami membuat acara ulang tahun. Satu atau beberapa orang dari kami—para relawan—mengorganisir pesta. Membawakan cokelat dan kue tar untuk dinikmati bersama.

Kami juga mencoba berdialog dengan para orang tua mereka. Ada yang punya masalah dengan tempat pekerjaan (banyak yang tidak bermata pencaharian), tempat sekolah anak (terlalu jauh, dan sebagainya), ekonomi (sulit mendapat makanan), dan sebagainya.

Ada hal menarik dari dialog ini. Kami pertama-tama saling kenal. Saya dan teman saya orang Italia memberitahukan sejak awal bahwa kami calon pastor, calon missionaris, beragama Katolik. Mereka tahu siapa pastor karena ada beberapa pastor di kota Parma yang suka membantu imigran secara pribadi atau organisasi. Mereka juga tahu, kami tidak akan menikah. Ketika kami saling kenal, saling terbuka, relasi kami makin baik, merasa lebih dekat. Bahkan kedekatan ini terasa ketika mereka tahu, saya orang Indonesia yang nota bene penduduk muslimnya terbanyak di dunia.

Menjadi missionaris yang merasul memang mesti keluar dari diri sendiri. bahkan, Paus Fransiskus dalam pesannya pada Hari Minggu Misi se-Dunia pada 19 Oktober yang lalu menggemakan kembali identitas Gereja. Gereja—kata Paus—lahir untuk keluar dari dirinya sendiri. Pesan ini juga sebelumnya dia sampaikan dalam ensikliknya, Evangelii Gaudium, tahun lalu. Dalam artikel nomor 20, Paus mengajak kita untuk melihat pengalaman Abraham yang keluar dan pergi ke tanah baru, tanah terjanji. Inilah identitas gereja—seru Paus Fransiskus.

Selain Paus Fransiskus, Santo Conforti (1869-1931), pendiri Serikat Missionaris Xaverian, sudah mempraktikkan identitas gereja yang keluar dari sendirinya ini dalam hidupnya. Dalam tugas pastoralnya di Keuskupan Agung Ravena dan Keuskupan Parma, dia menghabiskan banyak waktunya untuk mengunjungi umat baik yang ada di pusat kota maupun yang jaduh dari pusat kota misalnya di daerah pegunungan.

Sebagai Xaverian, saya kira tugas kerasulan saya di kota Parma amat relevan dengan karisma serikat kami yang tertuang dalam peraturan (Konstitusi) nomor 9. Xaverian berkarya bagi orang-orang non-kristiani. Bahkan dengan mereka yang berbera budaya dan kebangsaan.

Sekian saya ‘sharing’ pengalaman saya sebagai imigran-mahasiswa-missionaris di kota Parma, Italia. Semoga bermanfaat bagi pembaca. (gordy-afri@ymail.com)


Fr. Gordi Afri, SX

*Dimuat di majalah WARTA XAVERIAN JAKARTA

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.