MENJADI RASUL DI
KOTA PARMA
Tulisan ini hanyalah sepenggal pengalaman saya dalam merasul. Merasul merupakan salah satu
tugas wajib para calon Xaverian. Kelak nantinya akan tetap menjadi tugas khas
setelah menjadi Xaverian imam atau bruder (dengan mengikrarkan kaul seumur
hidup). Oleh sebab itu, saya batasi cakupan kerasulan di sini sebagai bentuk
formasi (pembinaan) dan bukan kerasulan yang dijalankan oleh para Xaverian yang
berkaul kekal.
Merasul berarti menjalankan tugas sebagai rasul. Kita
bisa lihat tugas para rasul dalam kitab suci khususnya keempat injil dan kisah
para rasul. Kalau dirangkum, tugas seorang rasul mencakup hal berikut.
Mengikuti, mendengar, melakukan apa yang diperintahkan, berdoa, dan tingal
bersama dengan Yesus. Ini bentuk kerasulan
ala murid Yesus. Merasul ala Xaverian
lain lagi.
Merasul ala
Xaverian konkretnya seperti ini. Ikut menjadi pembimbing bina iman anak di
paroki atau lingkungan, mendampingi calon baptis atau katekumen atau calon
komuni pertama, melayani orang sakit di panti asuhan atau panti jompo, membantu
anak jalanan, menjadi pemulung, mengajar agama Katolik di sekolah atau
universitas, mendapingi rekoleksi atau retret, mengajar pendidikan atau
pengetahuan umum pada anak-anak yang tidak mampu. Bentuk konkret ini saya lihat dan saya lakukan selama masa formasi dari Yogyakarta, Bintaro, dan
Cempaka Putih, Jakarta. Merasul dalam konteks ini mencakup bidang sosial,
agama, dan pendidikan.
Menjadi rasul di kota Parma, Italia, lain lagi. Tentu saja ada yang sama. Tetapi, ada hal baru yang saya
lakukan yaitu mengikuti kelompok lectio
divina, mengunjungi keluarga imigran, berdialog dengan mereka seputar
keadaan keluarga dan suasana kerja, membantu mencarikan bantuan untuk keluarga
imigran yang tidak mampu. Ini yang belum saya alami di
Indonesia.
Bicara tentang imigran memang menarik. Saya juga termasuk imigran di kota Parma. Lebih pasnya
imigran-mahasiswa karena sedang belajar. Atau juga
imigran-religius-missionaris. Saya bangga tentunya menjadi imigran-missionaris.
Membawa nama negara Indonesia yang nota bene sebagai negara Islam terbesar dan
terbanyak penduduknya di dunia.
Paus Fransiskus dan para Katekis
Saya merasul di Paroki
Santa Cristina di jantung kota Parma. Setiap hari Minggu, datang penduduk
imigran serta anak-anak mereka untuk misa mingguan. Mayoritas dari benua Afrika
(Nigeria, Gana, Kamerun, dan beberapa negara lainnya). Dari Asia juga ada
(Filipina dan Indonesia, saya sendiri). Jadi, kami mengikuti ‘misa
internasional’.
Pada Rabu sore, kami
mengadakan katekese atau pendampingan untuk anak-anak calon baptis, calon
komuni, dan calon krisma. Anak-anak yang datang bukan saja berbangsa Italia
tetapi juga ada anak-anak imigran. Di kelas saya, ada 1 orang anak
berkebangsaan Nigeria, 1 berkebangsaan Equador, 1 berkebangsaan Pakistan, dan 5
lainnya Italia. Kami semua menjadi satu keluarga internasional dalam kelompok
ini.
Saya belajar untuk
memberi katekese kepada anak-anak. Tugas ini tidak mudah tentunya terutama
tahun lalu ketika saya masih bergulat dengan tugas belajar bahasa. Belajar
bahasa dan budaya orang tidak mudah tetapi menjadi menarik ketika mampu
memberikan diri untuk mempelajarinya.
Tentang tugas menjadi
katekis ini saya ingin membagikan pesan menarik dari Paus Fransiskus kepada
para katekis. Dia menyampaikan pesan ini pada 27 September
tahun 2013 yang lalu di aula Paulus VI di kota Roma. Ada 3 hal menarik yang
harus dimiliki oleh seorang katekis. Pertama,
katekis harus mempunya relasi khusus dengan Yesus. Kedua, katekis harus belajar dari Yesus untuk keluar dari dirinya
sendiri dan pergi untuk bertemu dengan sesama. Ketiga, bersama Yesus, katekis tidak perlu takut untuk pergi
dengan-Nya ke daerah yang sulit.
Bagi saya, ketiga pesan
Paus di atas relevan dengan tugas kerasulan saya. Dalam pertemuan dwi-bulanan
bersama pastor paroki, dia sering mendorong kami untuk membina relasi khusus
dengan Yesus jika ingin menjadi katekis yang baik. Saya sungguh merasa terbantu
dengan relasi khusus ini. Dengan ini juga, saya mengajak anak-anak binaan kami
untuk sering berdoa. Kami berangkat dari kelas. Memulai dan megakhiri kegiatan
dengan berdoa bersama sambil bergandengan tangan.
Saya juga belajar untuk
keluar dari diri sendiri untuk bisa masuk dalam dunia anak-anak yang budaya dan
bahasanya berbeda dengan saya. Kadang-kadang mau marah dengan anak-anak tetapi
tidak bisa mengungkapkannya dalam bahasa anak-anak. Ini yang menarik. Dan
memang, kalau tidak keluar dari diri sendiri, saya tidak bisa masuk dalam dunia
mereka. Pengalaman keluar dari diri sendiri juga saya alami saat mencoba untuk
berbagi pengalaman, ‘sharing’ dengan kelompok lectio divina. Pada mulanya sulit
apalagi bahasa terbatas. Lama-lama jadi bisa.
Pesan ketiga belum
tampak dalam tugas sebagai katekis tetapi tampak dalam tugas kerasulan lain
yakni bertemu dengan ‘orang-orang kecil’ di pinggiran kota Parma.
Contoh dari Santo Conforti
Kerasulan lain yaitu
kunjungan ke keluarga imigran dari Romania, Makedonia, Tunisia, Maroko, Iran,
dan Turki. Mereka beragama Islam dan tinggal di 3
apartemen di pinggiran kota Parma. Setiap hari Sabtu, dua kali sebulan, kami
mengunjungi mereka. Jarak dari rumah kami ke sana sekitar 8 km. Sekitar 30
menit dengan mobil pribadi. Kalau naik angkutan kota, dua kali ganti, dan
menghabiskan sekitar 1,5 jam, termasuk waktu tunggu.
Di sana, kami mendampingi anak-anak mereka mengerjakan
tugas sekolah. Kadang-kadang bermain bersama. Sepak bola, petak umpet, tebak-tebakan, dan banyak jenis lainnya . Bersama para
relawan lainnya, juga dari kelompok pramuka di kota Parma, sekali sebulan kami
membuat acara ulang tahun. Satu atau beberapa orang dari kami—para relawan—mengorganisir pesta.
Membawakan cokelat dan kue tar untuk dinikmati bersama.
Kami juga mencoba
berdialog dengan para orang tua mereka. Ada yang punya masalah dengan tempat
pekerjaan (banyak yang tidak bermata pencaharian), tempat sekolah anak (terlalu
jauh, dan sebagainya), ekonomi (sulit mendapat makanan), dan sebagainya.
Ada hal menarik dari
dialog ini. Kami pertama-tama saling kenal. Saya dan teman saya orang Italia
memberitahukan sejak awal bahwa kami calon pastor, calon missionaris, beragama
Katolik. Mereka tahu siapa pastor karena ada beberapa pastor di kota Parma yang
suka membantu imigran secara pribadi atau organisasi. Mereka juga tahu, kami
tidak akan menikah. Ketika kami saling kenal, saling terbuka, relasi kami makin
baik, merasa lebih dekat. Bahkan kedekatan ini terasa ketika mereka tahu, saya
orang Indonesia yang nota bene penduduk muslimnya terbanyak di dunia.
Menjadi missionaris yang merasul memang mesti keluar
dari diri sendiri. bahkan, Paus Fransiskus dalam pesannya pada Hari Minggu Misi
se-Dunia pada 19 Oktober yang lalu menggemakan kembali identitas Gereja.
Gereja—kata Paus—lahir untuk keluar dari dirinya sendiri. Pesan ini juga
sebelumnya dia sampaikan dalam ensikliknya, Evangelii Gaudium, tahun lalu.
Dalam artikel nomor 20, Paus mengajak kita untuk melihat pengalaman Abraham
yang keluar dan pergi ke tanah baru, tanah terjanji. Inilah identitas
gereja—seru Paus Fransiskus.
Selain Paus Fransiskus, Santo Conforti (1869-1931),
pendiri Serikat Missionaris Xaverian, sudah mempraktikkan identitas gereja yang
keluar dari sendirinya ini dalam hidupnya. Dalam tugas pastoralnya di Keuskupan
Agung Ravena dan Keuskupan Parma, dia menghabiskan banyak waktunya untuk
mengunjungi umat baik yang ada di pusat kota maupun yang jaduh dari pusat kota
misalnya di daerah pegunungan.
Sebagai Xaverian, saya kira tugas kerasulan saya di kota
Parma amat relevan dengan karisma serikat kami yang tertuang dalam peraturan (Konstitusi)
nomor 9. Xaverian berkarya bagi orang-orang non-kristiani. Bahkan dengan mereka
yang berbera budaya dan kebangsaan.
Sekian saya ‘sharing’ pengalaman saya sebagai
imigran-mahasiswa-missionaris di kota Parma, Italia. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
(gordy-afri@ymail.com)
Fr. Gordi Afri, SX
*Dimuat di majalah WARTA XAVERIAN JAKARTA
Posting Komentar